Halaman

Entri Populer

Kamis, 27 Juni 2013

Tahajud Cinta

 
 
“Sudahlah, Lan. Kamu nikah dulu juga enggak apa-apa!” Kataku pada Lani.

Lani mau menikah. Orang tua kedua belah pihak sudah setuju. Namun orang tuaku menyuruh Lani menunda sampai aku lebih dulu menikah. Semula Lani setuju. Namun setelah setahun lebih berlalu dan aku belum nemuin jodoh, dia mulai resah.

“Aku sih enggak masalah, mbak. Tapi bapak ibu. Mbak tahu sendiri kan mereka berkeras enggak mengizinkan,” kata Lani.

“Kapan sih kamu nikah?” tanyaku sambil menatap adikku.

“Pengenku tahun depan, Mbak. Sekalian bisa pindah ke rumah kami,” kata Lani terang.

“Doain tahun ini aku dapat jodoh dan nikah,” kataku pelan.

“Tapi mbak Sinta juga mesti usaha, cari jodohmu, Mbak! Jodoh juga enggak datang sendiri dari langit,” kata Lani.

Aku hanya tersenyum. Tidak mudah melupakan dia. Aku sendiri tidak tahu di mana sosok itu berada. Tapi aku sungguh tidak bisa melepaskan bayangannya dari benakku.
Cinta Masa Lalu.
***

“Kamu ngebingungin!” seru Vina, sahabatku padaku.“Ngebingungin gimana?”

“Kenapa kamu enggak milih aja satu dari lelaki yang ngedeketin kamu? Enggak ada orang yang sempurna Sin. Pilih satu dong!”

“Aku enggak bisa”

“Kenapa?”

“Hatiku bukan untuk mereka.”

“Lalu untuk siapa?” Tanya Vina kudengar penasaran.

“Sulit kujelaskan,” kataku pelan. “Kamu enggak kenal.”

“Dia mencintaimu?”

“Itu yang aku enggak tahu.”

“Jadi kamu jatuh cinta pada orang yang enggak kamu tahu apa dia suka kamu apa enggak? Oh Tuhan!” seru Vina sambil melotot padaku.

“Mungkin”

“Kamu enggak coba cari tahu soal dia?”

“Aku enggak terlalu dekat sama dia waktu kuliah. Setelah Lulus dan kerja, aku enggak pernah ketemu.”

“Kenapa kamu enggak ngelupain saja?”

“Aku juga enggak ngerti. Aku ngerasa dia itu jodohku. Padahal, sekarang aku enggak tahu apa-apa soal dia.”

“Aneh,” kata Vina pelan

“Kamu ada usul?” tanyaku.

“Cari dia. Ada temannya yang kamu kenal kan? Hubungi dia, siapa tahu bisa membantu.”

“Gimana kalau dia sudah punya calon istri, atau malah sudah menikah?” tanyaku. Aku sudah lama banget tidak ketemu hasan. Mungkin saja dia sudah nikah.

“Kamu toh belum tahu apa-apa soal dia,” bantah Vina. “Apa aku boleh bantu?”Aku menggeleng. “Aku akan cari sendiri.”

Vina mengangguk. “Oke”. Tapi kamu juga mesti ngebuka diri untuk laki-laki lain. Siapa tahu yang kamu cari itu ternyata bukan jodohmu,” pesan Vina sebelum berlalu.Kuputuskan untuk mencari Hasan. Sayang, sampak aku lelah belum juga kutemukan sosoknya. Lelaki sholeh dengan wajah teduh yang tidak pernah hilang dari hati dan benakku itu, seperti lenyap ditelan bumi. Tidak ada seorang pun yang tahu di mana dia. Beberapa teman yang kuanggap tahu dan kenal dengan Hasan, tidak tahu pula di mana Hasan. Alamat rumahnya yang kuperoleh dari petugas administrasi kampus, sudah ganti pemilik. Pemilik yang baru tidak tahu ke mana keluarga Hasan pindah.

“Sinta, ntar malam dating loh ke pestanya Imel! Banyak jomblo juga loh!” seru sari padaku.

“Yo!” kataku singkat.

Malam harinya aku datang ke pesta ulang tahun Imel. Pestanya meriah sekali. Banyak lelaki yang sengaja dikenalkan imel padaku. Dari perkenalan itu, berlanjut dengan pertemuan demi pertemuan. Namun selalu, aku merasa ada yang tidak cocok. Selera makannya yang beda jauh, lelaki pelit dan penuh perhitungan, belum lagi ada yang tidak peduli soal agama. Aku sampai sedih dan menghentikan kebiasaan itu. Capek dan sungguh melelahkan.

Kini aku mulai membongkar kembali buku almamater dan menghubungi beberapa teman lelaki. Satu dua memang masih lajang, beberapa sudah nikah. Hubungan dengan teman-temanku yang masih lajang pun bisa berlangsung. Namun aku tidak cocok dengan mereka. Bahkan ada salah seorang diantara mereka yang terang-terangan bilang, tidak ingin punya istri yang penghasilannya jauh di atasnya. Tentu saja aku syok mendengar itu.Sempat terpikir olehku kekayaan dan keberhasilanku, jadi penghalang untuk menemukan jodoh. Laki-laki pasti tidak akan mau kalah dari istrinya. Tapi, apa iya aku harus ngelepasin begitu saja karir yang kurintis bertahun-tahun dengan susah payah? Aku hanya bisa menangis sedih.

“Baiklah kamu ikutan kontak jodoh aja, Sin. Sebutin criteria kamu dan pilih yang paling cocok. Lalu ajak ketemuan,” saran Vina

Aku pun mengikuti rubrik kontak jodoh dari beberapa harian terkemuka. Surat yang masuk pun cukup banyak. Mereka juga ingin bertemu denganku. Namun kembali, kegagalan harus kutemui. Tidak ada yang mau serius, setelah tahu kedudukan dan kesuksesanku. Aku makin terpuruk. Niatku untuk mencari Hasan kembali menggebu. Sayangnya aku tidak tahu mesti mencari ke mana.

“kenapa kamu masih ngotot nyari dia, Sin?” Tanya Vina.

“Aku juga enggak tahu. Kalo dia sudah nikah, enggak masalah. Kalo belum, aku akan bilang perasaanku. Dulu aku ngejauh darinya, karena aku khawatir kalo buru-buru nikah, aku enggak bisa bantu orang tua dan adik-adikku, Vin. Sekarang tidak ada lagi, yang jadi bebanku. Setidaknya kalo dia nolak aku, aku sudah siap. Aku akan cari orang lain. Tapi aku harus ketemu dia dulu,” kataku bersikeras.

Vina memelukku. “Sabar ya Sin. Allah pasti ngasih yang terbaik untukmu!”

Siang itu, aku termenung di ruangan kerjaku. Aku merasa tidak ada harapan. Ke mana kucari, jodoh itu belum juga kutemukan. Aku meraih telepon dan menghubungi rumah.

“Bu, kenapa ibu enggak ngizinin Lani nikah dulu? Sinta engga keberatan,” kataku pelan, khawatir ibuku marah.
 
“Sinta, kamu itu lebih tua. Sudah seharusnya kamu yang menikah lebih dalu”.

“Tapi Bu, Sinta belum punya calon. Lani dan calonnya sudah siap nikah. Ibu tahu kan, nunda-nunda pernikahan mereka bisa berakibat buruk?” tanyaku.

“Ibu tahu. Persoalan kamu itu memang berat,Sinta. Tapi Ibu yakin, itu enggak akan lama. Kamu sendiri yang harus menyelesaikan”.

“Maksud Ibu?” tanyaku tidak mengerti.

“Kamu sudah mencari-cari jodohmu, ibu yakin itu. Tapi usahamu belum total, Nak. Kamu hanya menggantungkan usahamu pada kemampuan lahir. Kamu belum meminta pada Allah. Shalat tahajudmu mungkin yang kurang.”

Aku tertegun mendengar perkataan ibuku. Hatiku langsung bergetar hebat. Aku seperti langsung diingatkan pada sesuatu yang belakangan ini nyaris kutinggalkan. Shalat malam, shalat tahajud. Sejak kesibukkan kerjaku yang bikin aku harus sering pulang malam, aku memang jadi lalai melakukan tahajud.Gimana aku bisa shalat, kalo pulang kantor sudah jam satu pagi? Tiba di rumah ingin langsung tidur, pagi shubuh maksain diri bangun untuk shalat dan kemudian nerusin tidur sampai jam Sembilan pagi.

“Sinta? Kamu masih di sana, Nak?” Tanya ibuku mungkin karena lama tidak mendengar suaraku.

“Iya bu. Sinta masih dengar. Sinta dengerin nasehat ibu,” kataku pelan.

“Sebaiknya kamu perbanyak puasa sunah, perbanyak sedekah, dan shalat tahajud, Nak. Ibu yakin, kamu sudah bertemu dengan jodohmu. Tapi waktunya belum pas.”

“Doain Sinta kuat ya Bu!” seruku kemudian.

“Tentu, ibu pasti akan mendoakan untuk kebaikanmu, Nak,” kata ibuku lagi sebelum kemudian hubungan telepon terputus.

Aku masih tertegun di mejaku. Pembicaraan dengan ibuku terasa menohok nuraniku. Aku menatap tumpukan kerjaanku. Aku yakin, hari ini pun aku akan kembali pulang larut malam.

Aku menggelengkan kepalaku. Aku harus mengatur waktu agar bisa pulang lebih awal. Langsung kutulis daftar prioritas hari ini agar aku tahu persis apa yang perlu ku urusi secepatnya.

Untuk sementara aku matikan hp-ku dan serius bekerja. Beberapa buku yang tinggal memeriksa bagian akhirnya, kini satu persatu mulai kuselesaikan.

“Turunkan naskah ini, Wi! Siap untuk masuk cetak! Kabari editornya untuk ngecek soal desain covernya!” seruku sambil menyerahkan empat naskah yang sudah kuperiksa. “Ada telpon untuk saya?”

“Iya, sudah saya catat, Mbak!” seru Dewi, “Bu Nila minta ketemu, waktunya terserah Mbak Sinta minggu ini!”

Bu Nila adalah salah satu pemegang saham di perusahaan tempatku bekeja. Akupun mulai menelepon orang-orang yang ada di daftar Dewi. Tidak lebih dari setengah jam, aku sudah menyelesaikan tugasku. Sembilan lewat dua puluh menit. Aku meletakkan naskah yang sudah kutandatangani di meja Dewi agar diturunkan untuk cetak dan memberitahu editornya. Aku pulang dengan perasaan lega.


Malam itu, aku tidur lebih awal. Jam setengah tiga pagi aku terbangun karena bunyi jam weker. Rasanya berat untuk membuka mata. Namun karena merasa tidak ada lagi yang membantuku selain Allah, aku pun memaksakan diri untuk bangun. Kusingkirkan selimutku dan beranjak ke kamar mandi. Meskipun Jakarta panas sepanjang waktu, tetap saja keengganan menguasaiku untuk berwudhu. Setelah shalat dan menunggu waktu subuh, ternyata aku harus tidur lagi. Kantukku terasa lebih kuat dari niatku untuk langsung beraktivitas.

Hari demi hari kulalui dengan memaksakan diri untuk shalat tahajud. Sesekali rasa malas dan bosan pun menguasai diriku. Terlebih setelah hampir satu bulan ini toh tidak ada perubahan dalam hidupku. Tidak ada lelaki datang yang sesuai dengan impianku. Tidak ada pula tanda-tanda aku bakalan menemukan Hasan. Semuanya terasa tetap jauh dari impian dan harapanku.

Aku sering sedih menyadari kenyataan yang kuhadapi. Namun toh aku tetap bersikeras untuk shalat tahajud, karena di waktu itulah aku bisa mengadukan semua jeritan hatiku pada sang Khalik. Aku bisa melumpahkan semua tangisanku tanpa perlu takut ada orang yang menertawai. Aku bisa mengungkapkan semua permohonan dan keinginanku.

Aku percaya Allah pasti mendengarkan semuannya. Mungkin saja Allah masih menyembunyikan jodohku karena akan memberi yang terbaik untukku. Bukankah yang paling baik itu selalu melalui proses yang panjang?

Sebenarnya aku juga ingin cepat menikah. Aku juga tidak ingin membuat orang tuaku sedih karena adikku harus mendahului aku. Namun apa mau dikata. Ketika waktu terus berlalu, adikku Lani jadi tidak bisa sabar lagi. Aku pun harus mengizinkan dia untuk menyiapkan segala sesuatunya, termasuk rencana lamaran oleh keluarga calon suaminya. Setiap malam aku tersungkur pada sujud yang panjang. Rasanya tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain meminta pada-Nya.

Hari-hari berlalu. Aku tetap belum menemukan jodohku. Sementara lamaran pada adikku sudah dilakukan. Meskipun mencoba tegar, tetap saja hatiku menangis. Tetap saja ada yang terasa berat di sudut terdalam diriku. Ternyata ibuku benar. Menerima hal seperti ini butuh kebesaran hati dan jiwa.
***
 
“Mbak Sinta, siang ini Bu Nila minta bertemu. Soalnya minggu depan dia harus terbang ke Amrik untuk menghadiri wisuda anaknya,” kata Dewi padaku.

“Oke, saya telpon langsung Wi,” kataku pelan.

Jam dua belas siang aku meninggalkan kantor untuk ketemu Bu Nila. Mungkin saja Bu Nila ada ide-ide brilliant untuk kemajuan usaha di kantorku. Kafe itu terlihat ramai. Aku melangkah masuk untuk mencari Bu Nila. Bu Nila terlihat melambaikan tangan padaku. Aku langsung menghampirinya.

“Sudah pesan kok, Mbak Sinta. Tinggal tunggu anak saya,” kata bu Nila. “masih di jalan.”

Kami pun serius membicarakan investasi dan rencana kerja sama yang lebih luas. Tiba-tiba bu Nila tersenyum. “nah, itu anak saya!” serunya senang.

Aku ikut menoleh. Jantungku langsung berdetak-detak saat tahu sosok tinggi jangkung yang akan menghampiri tempat kami.

“Assalamu’alaikum. Maaf, Ma. Macet,” katanya yang langsung duduk dan sejenak menatapku agak lama. Aku hanya bisa menunduk.

“Wa’alaikumsalam. Tidak apa. Mbak Sinta ini anak saya, Hasan,” kata Bu Nila. “Dia belum punya calon istri. Padahal minggu depan wisuda. Saya pikir siapa tahu ada jodoh sama Mbak Sinta, makanya saya kenalin,”tambahnya.

Hasan tertawa.”kalo ini saya sudah kenal. Apa kabar Sinta? Mau nerima lamaran saya enggak? Mau dong, soalnya selama ini saya Istikharah yang muncul cuma wajah Sinta. Tapi saya enggak tahu gimana carinya. Soalnya abis lulus S-1 saya langsung lanjutin studi S-2 dan S-3 di Amerika,”terang Hasan pelan.

Aku langsung mendongak. Aku merasa tidak percaya dengan penuturan Hasan. Gimana mungkin semuanya terjadi? Lelaki yang kuharapkan siang malam hingga aku sering merasa tidak bisa menerima lelaki lain, kini ada dihadapanku. Bahkan ‘meminta’ karena petunjuk dari shalat istikharah. Apakah itu bukan sesuatu yang luar biasa? Aku masih diam. Aku tidak tahu harus ngomong apa pada Hasan dan ibunya. Aku tidak menyangka bu Nila yang sekian tahun kukenal adalah ibu dari lelaki yang selama ini kucari-cari.

“kok bengong? Apa jawaban atas pertanyaan Hasan, Nak Sinta?” Tanya bu Nila memecah kediaman di antara kami.

“Iya, Ibu. Insya Allah. Saya sungguh enggak tahu kalo bu Nila ibu Hasan, orang yang selama ini saya cari-cari.”

“Lho, kenapa cari-cari saya? Dulu waktu kuliah kok engga mau dekat?” Tanya Hasan sambil tertawa.

Aku tidak menjawab.

Bu Nila tertawa. “kalo orang berjodoh biasanya akan saling merasa.”

“Benar itu, Ma. Saya juga merasa begitu. Apa Sinta pernah merasa kalo kita bakalan berjodoh?” Tanya Hasan padaku.

Aku mengangguk, kemudian tertegun. Tiba-tiba aku ingat ibuku. Mungkin ini balasan dari Tahajud dan doa-doa beberapa malam terakhir yang jadi kebiasaan rutinku lagi, setelah sekian lama kutinggalkan.

“Jadi, orang tuaku bisa langsung melamarmu, Sinta? Tanya Hasan.

Aku tersenyum. “Biar kukenalin kamu ke orang tuaku dulu.”

“Setelah itu Mama dan Papa akan mengurus semuanya untukmu, Hasan!” Bu Nila.

Aku benar-benar bersyukur. Alangkah ajaibnya. Allah memberikan apa yang kuminta lewat jalan yang tidak pernah kusangka-sangka. Sungguh Allah Maha Mengabulkan Doa.

***TAMAT***


Penulis : Asma Nadia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar