Halaman

Entri Populer

Sabtu, 29 Juni 2013

Pudarnya Pesona Cleopatra

Dengan panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada dalam kandungan aku telah dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah kukenal." Ibunya Raihana adalah teman karib ibu waktu  nyantri di pesantren Mangkuyudan Solo dulu"
 
"Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan besanan untuk memperteguh tali persaudaraan. Karena itu  ibu mohon keikhlasanmu", ucap beliau dengan nada mengiba. Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku menuruti keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. 

Aku ingin menjadi mentari pagi dihatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan diriku. Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun sesungguhnya dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu saja dan tidak tahu alasannya. Yang jelas aku sudah punya kriteria dan impian tersendiri untuk calon istriku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa berhadapan dengan air mata ibu yang amat kucintai. 

Saat khitbah (lamaran) sekilas kutatap wajah Raihana, benar kata Aida adikku, ia memang baby face dan anggun. Namun garis-garis kecantikan yang kuinginkan tak kutemukan sama sekali. Adikku, tante Lia mengakui Raihana cantik,  "cantiknya alami, bisa jadi bintang iklan Lux lho, asli ! kata tante Lia. Tapi penilaianku lain, mungkin karena aku begitu hanyut dengan gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra, yang tinggi semampai, wajahnya putih jelita,  dengan hidung melengkung indah, mata bulat bening khas arab, dan bibir yang merah. Di
hari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit cintaku untuk calon istriku, tetapi usahaku selalu sia-sia. 

Aku ingin memberontak pada ibuku, tetapi wajah teduhnya meluluhkanku. Hari pernikahan datang. Duduk dipelaminan bagai mayat hidup, hati hampa tanpa cinta, Pestapun meriah dengan empat group rebana. Lantunan shalawat Nabipun terasa menusuk-nusuk hati. Kulihat Raihana tersenyum manis, tetapi hatiku terasa teriris-iris dan jiwaku meronta. Satu-satunya harapanku adalah mendapat berkah dari Allah atas baktiku pada ibuku yang kucintai.  Rabbighfir li wa liwalidayya! Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi bukan cinta, hanya sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayatNya. 

Raihana tersenyum mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan kepura-puraanku. Tepat dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan dipinggir kota Malang. Mulailah kehidupan
hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa susah hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat bersama dengan makhluk yang bernama Raihana, istriku, tapi Masya Allah bibit cintaku belum juga tumbuh. Suaranya yang lembut terasa hambar, wajahnya yang teduh tetap terasa asing. Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup bersama Raihana mulai kurasakan, rasa ini muncul begitu saja. 

Aku mencoba membuang jauh-jauh rasa tidak baik ini, apalagi pada istri sendiri yang seharusnya kusayang dan kucintai. Sikapku pada Raihana mulai lain. Aku lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih banyak di ruang tamu atau ruang kerja. Aku merasa hidupku ada lah sia-sia, belajar di luar negeri sia-sia, pernikahanku sia-sia, keberadaanku sia-sia. Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihanapun merasakan hal yang sama, karena ia orang yang berpendidikan, maka diapun tanya, tetapi kujawab, "tidak apa-apa koq mbak, mungkin aku belum dewasa, mungkin masih harus belajar berumah
tangga".

Ada kekagetan yang kutangkap diwajah Raihana ketika kupanggil 'mbak', "kenapa mas memanggilku mbak, aku kan istrimu, apa mas sudah tidak mencintaiku" tanyanya dengan guratan wajah yang sedih. "wallahu a'lam" jawabku sekenanya. Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam menunduk, tak lama kemudian dia terisak-isak sambil memeluk kakiku, "Kalau mas tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri kenapa mas ucapkan akad nikah? Kalau dalam tingkahku melayani mas masih ada yang kurang berkenan, kenapa mas tidak bilang dan menegurnya, kenapa mas diam saja, aku harus bersikap bagaimana untuk membahagiakan mas, kumohon bukalah sedikit hatimu untuk menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku didunia ini". Raihana mengiba penuh pasrah. Aku menangis menitikan air mata buka karena Raihana tetapi karena kepatunganku.

Hari terus berjalan, tetapi komunikasi kami tidak berjalan. Kami hidup seperti orang asing tetapi Raihana tetap melayaniku menyiapkan segalanya untukku.
***

Suatu sore aku pulang mengajar dan kehujanan, sampai dirumah habis maghrib, bibirku pucat, perutku belum kemasukkan apa-apa kecuali segelas kopi buatan Raihana tadi pagi, Memang aku berangkat pagi karena ada janji dengan teman. Raihana memandangiku dengan khawatir. "Mas tidak apa-apa" tanyanya dengan perasaan kuatir. "Mas mandi dengan air panas saja, aku sedang menggodoknya, lima menit lagi mendidih" lanjutnya. Aku melepas semua pakaian yang basah. "Mas airnya sudah siap" kata Raihana. Aku tak bicara sepatah katapun, aku langsung ke kamar mandi, aku lupa membawa handuk, tetapi Raihana telah
berdiri didepan pintu membawa handuk. "Mas aku buatkan wedang jahe" Aku diam saja.

Aku merasa mulas dan mual dalam perutku tak bisa kutahan. Dengan cepat aku berlari ke kamar mandi dan Raihana mengejarku dan memijit-mijit pundak dan tengkukku seperti yang dilakukan ibu. "Mas masuk angin. Biasanya kalau masuk angin diobati pakai apa, pakai balsam, minyak putih, atau jamu?" Tanya Raihana sambil menuntunku ke kamar. "Mas jangan diam saja dong, aku kan tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk membantu Mas". "Biasanya dikerokin" jawabku lirih. "Kalau begitu kaos mas dilepas ya, biar Hana kerokin" sahut Raihana sambil tangannya melepas kaosku. Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya.

Raihana dengan sabar mengerokin punggungku dengan sentuhan tangannya yang halus. Setelah selesai dikerokin, Raihana membawakanku semangkok bubur kacang hijau. Setelah itu aku merebahkan diri di tempat tidur. Kulihat Raihana duduk di kursi tak jauh dari tempat tidur sambil menghafal Al Quran dengan khusyu. Aku kembali sedih dan ingin menangis, Raihana manis tapi tak semanis gadis-gadis mesir titisan Cleopatra.

Dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan Cleopatra, ia mengundangku untuk makan malam di istananya." Aku punya keponakan namanya Mona Zaki, nanti akan aku  perkenalkan denganmu" kata Ratu Cleopatra.

"Dia memintaku untuk mencarikannya seorang pangeran, aku melihatmu cocok dan berniat memperkenalkannya denganmu". Aku mempersiapkan segalanya. Tepat puku 07.00 aku datang ke istana, kulihat Mona Zaki dengan pakaian pengantinnya, cantik sekali. Sang ratu mempersilakan aku duduk di kursi yang berhias berlian. Aku melangkah maju, belum sempat duduk, tiba-tiba "Mas, bangun, sudah jam setengah empat, mas belum sholat Isya" kata Raihana membangunkanku. Aku terbangun dengan perasaan kecewa.

"Maafkan aku Mas, membuat Mas kurang suka, tetapi Mas belum sholat Isya" lirih Hana sambil melepas mukenanya, mungkin dia baru selesai sholat malam. Meskipun cuman mimpi tapi itu indah sekali, tapi sayang terputus. Aku jadi semakin tidak suka sama dia, dialah pemutus harapanku dan mimpi-mimpiku. Tapi apakah dia bersalah, bukankah dia berbuat baik membangunkanku untuk sholat Isya.

Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Raihana, aku tidak tahu dari mana sulitnya. Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Aku benar-benar terpenjara dalam suasana konyol. Aku belum bisa menyukai Raihana. Aku sendiri belum pernah jatuh cinta, entah kenapa bisa dijajah pesona gadis-gadis titisan Cleopatra. "Mas, nanti sore ada acara aqiqah di rumah Yu Imah. Semua keluarga akan datang termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk, kita datang bareng, tidak enak kalau kita yang dieluk-elukan keluarga tidak datang" Suara lembut Raihana menyadarkan pengembaraanku pada Jaman Ibnu Hazm. Pelan-pelan ia letakkan nampan yang berisi onde-onde kesukaanku dan segelas wedang jahe. Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja. "

Maaf.. maaf jika mengganggu Mas, maafkan Hana," lirihnya, lalu perlahan-lahan beranjak meninggalkan aku di ruang kerja. " Mbak! Eh maaf, maksudku D..Din..Dinda Hana!, panggilku dengan suara parau tercekak dalam tenggorokan. " Ya Mas!" sahut Hana langsung
menghentikan langkahnya dan pelan-pelan menghadapkan dirinya padaku. Ia berusaha
untuk tersenyum, agaknya ia bahagia dipanggil "dinda". " Matanya sedikit berbinar.

"Te.. terima kasih Di.. dinda, kita berangkat bareng kesana, habis sholat dhuhur, insya Allah," ucapku sambil menatap wajah Hana dengan senyum yang kupaksakan. Raihana menatapku dengan wajah sangat cerah, ada secercah senyum bersinar dibibirnya. " Terima kasih Mas, Ibu kita pasti senang, mau pakai baju yang mana Mas, biar dinda siapkan? Atau biar dinda saja yang memilihkan ya?". Hana begitu bahagia.

Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, Ia tetap sabar mencurahkan bakti meskipun aku dingin dan acuh tak acuh padanya selama ini. Aku belum pernah melihatnya memasang wajah masam atau tidak suka padaku. Kalau wajah sedihnya ya. Tapi wajah tidak sukanya belum pernah. Bah, lelaki macam apa aku ini, kutukku pada diriku sendiri. Aku memaki-maki diriku sendiri atas sikap dinginku selama ini, Tapi, setetes embun cinta yang kuharapkan membasahi hatiku tak juga turun. Kecantikan aura titisan Cleopatra itu? Bagaimana aku mengusirnya. Aku merasa menjadi orang yang paling membenci diriku sendiri di dunia ini. Acara pengajian dan qiqah putra ketiga Fatimah kakak sulung Raihana membawa sejarah baru lembaran pernikahan kami.

Benar dugaan Raihana, kami dielu-elukan keluarga, disambut hangat, penuh cinta, dan penuh bangga. " Selamat datang pengantin  baru! Selamat datang pasangan yang paling ideal dalam keluarga! Sambut Yu Imah  disambut tepuk tangan bahagia mertua dan bundaku serta kerabat yang lain. Wajah Raihana cerah. Matanya berbinar-binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hatiku menangis disebut pasangan ideal. Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir dan  Raihana lulusan terbaik dikampusnya dan hafal Al Quran lantas disebut ideal? Ideal bagiku adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa cinta yang sampai pada pengorbanan satu sama lain.

Rasa cinta yang tidak lagi memungkinkan adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang dari detik ke detik meneteskan rasa bahagia. Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti yang dimiliki Raihana. Sambutan sanak saudara pada kami benar-benar hangat. Aku dibuat kaget oleh sikap Raihana yang begitu kuat menjaga kewibawaanku di mata keluarga. Pada ibuku dan semuanya tidak pernah diceritakan, kecuali menyanjung kebaikanku sebagai seorang suami yang dicintainya. Bahkan ia mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku.

Aku sendiri dibuat pusing dengan sikapku. Lebih pusing lagi sikap ibuku dan mertuaku yang menyindir tentang keturunan. " Sudah satu tahun putra sulungku menikah, koq belum ada tanda- tandanya ya, padahal aku ingin sekali menimang cucu" kata ibuku. "Insya Allah tak lama lagi, ibu akan menimang cucu, doakanlah kami. Bukankah begitu, Mas?" sahut Raihana sambil menyikut lenganku, aku tergagap dan mengangguk sekenanya. Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat dengan Raihana. Aku berpura-pura kembali mesra dengannya, sebagai suami betulan. Jujur, aku hanya pura-pura. Sebab bukan atas dasar cinta, dan bukan kehendakku sendiri aku melakukannya, ini semua demi ibuku. Allah Maha Kuasa. Kepura-puraanku memuliakan Raihana sebagai seorang istri. Raihana hamil. Ia semakin manis. Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku menangis karena cinta tak kunjung tiba. Tuhan kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu segera. Sejak itu aku semakin sedih sehingga Raihana yang sedang hamil tidak kuperhatikan lagi. Setiap saat nuraniku bertanya" Mana tanggung jawabmu!" Aku hanya diam dan mendesah sedih."

Entahlah, betapa sulit aku menemukan cinta" gumamku. Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki bulan ke enam. Raihana minta ijin untuk tinggal bersama orang tuanya dengan alasan kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia kerumahnya. Karena rumah mertua jauh dari kampus tempat aku mengajar, mertuaku tak menaruh curiga ketika aku harus tetap tinggal dikontrakan. Ketika aku pamitan, Raihana berpesan, "Mas untuk menambah biaya kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku yang ada di ATM. Aku taruh dibawah bantal, no.pinnya sama dengan tanggal pernikahan kita".
***

Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap hari Aku tidak bertemu dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa sebabnya bisa demikian. Hanya saja aku sedikit repot, harus menyiapkan segalanya. Tapi toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah terbiasa saat kuliah di Mesir. Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana. Suatu saat aku pulang kehujanan. Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa tubuhku benar-benar lemas. Aku muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan perut mual. Saat itu terlintas dihati andaikan ada Raihana, dia pasti telah menyiapkan air panas, bubur kacang hijau, membantu mengobati masuk angin dengan mengeroki punggungku, lalu menyuruhku istirahat dan menutupi tubuhku dengan selimut. Malam itu aku benar-benar tersiksa dan menderita. Aku terbangun jam enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati, aku belum sholat Isya dan terlambat sholat subuh. Baru sedikit terasa, andaikan ada Raihana tentu aku ngak meninggalkan sholat Isya, dan tidak terlambat sholat subuh.

Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan mengajar di kampus. Apalagi aku mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti  pelatihan mutu dosen mata kuliah bahasa arab. Diantaranya tutornya adalah professor bahasa arab dari Mesir. Aku jadi banyak berbincang dengan beliau tentang mesir.

Dalam pelatihan aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang dosen bahasa arab dari Medan. Dia menempuh S1-nya di Mesir. Dia menceritakan satu pengalaman hidup yang menurutnya pahit dan terlanjur dijalani. "Apakah kamu sudah menikah?" kata Pak Qalyubi. "Alhamdulillah, sudah" jawabku. "Dengan orang mana?. "Orang Jawa". "Pasti orang yang baik ya. Iya kan? Biasanya pulang dari Mesir banyak saudara yang menawarkan untuk menikah dengan perempuan shalehah. Paling tidak santriwati, lulusan pesantren. Istrimu dari pesantren?". "Pernah, alhamdulillah dia sarjana dan hafal Al Quran". "Kau sangat beruntung, tidak sepertiku". "Kenapa dengan Bapak?" "Aku melakukan langkah yang salah, seandainya aku tidak menikah dengan orang Mesir itu, tentu batinku tidak merana seperti sekarang". "Bagaimana itu bisa terjadi?". "Kamu tentu tahu kan gadis Mesir itu cantik-cantik, dan karena terpesona dengan kecantikanya saya menderita seperti ini.
***

Ceritanya begini, Saya seorang anak tunggal dari seorang yang kaya, saya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tua. Disana saya bersama kakak kelas namanya Fadhil, orang Medan juga. Seiring dengan berjalannya waktu, tahun pertama saya lulus dengan predkat jayyid, predikat yang cukup sulit bagi pelajar dari Indonesia.
 
Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan rumah tempat saya tinggal menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak gadisnya yang bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab. Pada pandangan pertama saya jatuh cinta, saya belum pernah melihat gadis secantik itu. Saya bersumpah tidak akan menikaha dengan siapapun kecuali dia. Ternyata perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta saya didengar oleh Fadhil. Fadhil membuat garis tegas, akhiri hubungan dengan anak tuan rumah itu atau sekalian lanjutkan dengan menikahinya. Saya memilih yang kedua.

Ketika saya menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi masukan begini, sama-sama menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak mencari mahasiswi Al Azhar yang hafal Al-Quran, salehah, dan berjilbab. Itu lebih selamat dari pada dengan Yasmin yang awam pengetahuan agamanya. Tetapi saya tetap teguh untuk menikahinya. Dengan biaya yang tinggi saya berhasil menikahi Yasmin. Yasmin menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis Mesir. Perabot rumah yang mewah, menginap di hotel berbintang. Begitu selesai S1 saya kembali ke Medan, saya minta agar asset yang di Mesir dijual untuk modal di Indonesia. Kami langsung membeli rumah yang cukup mewah di kota Medan. Tahun-tahun pertama hidup kami berjalan baik, setiap tahunnya Yasmin mengajak ke Mesir menengok orang tuanya. Aku masih bisa memenuhi semua yang diinginkan Yasmin.

Hidup terus berjalan, biaya hidup semakin nambah, anak kami yang ketiga lahir, tetapi pemasukan tidak bertambah. Saya minta Yasmin untuk berhemat. Tidak setiap tahun tetapi tiga tahun sekali YAsmin tidak bisa. Aku mati-matian berbisnis, demi keinginan Yasmin dan anak-anak terpenuhi. Sawah terakhir milik Ayah saya jual untuk modal.

Dalam diri saya mulai muncul penyesalan. Setiap kali saya melihat teman-teman alumni Mesir yang hidup dengan tenang dan damai dengan istrinya. Bisa mengamalkan ilmu dan bisa berdakwah dengan baik. Dicintai masyarakat. Saya tidak mendapatkan apa yang mereka dapatkan. Jika saya pengin rending, saya harus ke warung. Yasmin tidak mau tahu dengan masakan Indonesia. Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya memanggil suaminya dengan namanya. Jika ada sedikit letupan, maka rumah seperti neraka. Puncak penderitaan saya dimulai setahun yang lalu. Usaha saya bangkrut, saya minta Yasmin untuk menjual perhiasannya, tetapi dia tidak mau. Dia malah membandingkan dirinya yang hidup serba kurang dengan sepupunya. Sepupunya mendapat suami orang Mesir.

Saya menyesal meletakkan kecantikan diatas segalanya. Saya telah diperbudak dengan kecantikannya. Mengetahui keadaan saya yang terjepit, ayah dan ibu mengalah. Mereka menjual rumah dan tanah, yang akhirnya mereka tinggal di ruko yang kecil dan sempit. Batin saya menangis. Mereka berharap modal itu cukup untuk merintis bisnis saya yang bangkrut. Bisnis saya mulai bangkit, Yasmin mulai berulah, dia mengajak ke Mesir. Waktu di Mesir itulah puncak tragedi yang menyakitkan. " Aku menyesal menikah dengan orang Indonesia, aku minta kau ceraikan aku, aku tidak bisa bahagia kecuali dengan lelaki Mesir". Kata Yasmin yang bagaikan geledek menyambar. Lalu tanpa dosa dia bercerita bahwa tadi di KBRI dia bertemu dengan temannya. Teman lamanya itu sudah jadi bisnisman, dan istrinya sudah meninggal. Yasmin diajak makan siang, dan dilanjutkan dengan perselingkuhan. Aku pukul dia karena tak bisa menahan diri. Atas tindakan itu saya dilaporkan ke polisi. Yang menyakitkan adalah tak satupun keluarganya yang membelaku. Rupanya selama ini Yasmin sering mengirim surat yang berisi berita bohong. Sejak saat itu saya mengalami depresi. Dua bulan yang lalu saya mendapat surat cerai dari Mesir sekaligus mendapat salinan surat nikah Yasmin dengan temannya. Hati saya sangat sakit, ketika si sulung menggigau meminta ibunya pulang".
 ***
 
Mendengar cerita Pak Qulyubi membuatku terisak-isak. Perjalanan hidupnya  menyadarkanku. Aku teringat Raihana. Perlahan wajahnya terbayang dimataku, tak terasa sudah dua bualn aku berpisah dengannya. Tiba-tiba ada kerinduan yang menyelinap dihati. Dia istri yang sangat shalehah. Tidak pernah meminta apapun. Bahkan yang keluar adalah pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena kemurahan Allah aku mendapatkan istri seperti dia. Meskipun hatiku belum terbuka lebar, tetapi wajah Raihana telah menyala didindingnya. 

Apa yang sedang dilakukan Raihana sekarang? Bagaimana kandungannya? Sudah delapan bulan. Sebentar lagi melahirkan. Aku jadi teringat pesannya. Dia ingin agar aku mencairkan tabungannya. Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan ke toko baju muslim, aku ingin membelikannya untuk Raihana, juga daster, dan pakaian bayi. 

Aku ingin memberikan kejutan, agar dia tersenyum menyambut kedatanganku. Aku tidak langsung ke rumah mertua, tetapi ke kontrakan untuk mengambil uang tabungan, yang disimpan dibawah bantal. 

Dibawah kasur itu kutemukan kertas Merah jambu. Hatiku berdesir, darahku terkesiap. Surat cinta siapa ini, rasanya aku belum pernah membuat surat cinta untuk istriku. Jangan-jangan ini surat cinta istriku dengan lelaki lain. Gila! Jangan-jangan istriku serong. Dengan rasa takut kubaca surat itu satu persatu. Dan Yaa Rabbi, ternyata surat-surat itu adalah ungkapan hati Raihana yang selama ini aku zhalimi. 

Ia menulis, betapa ia mati-matian mencintaiku, meredam rindunya akan belaianku. Ia menguatkan diri untuk menahan nestapa dan derita yang luar biasa. Hanya Allah lah tempat ia meratap melabuhkan dukanya. Dan ya.. Allah, ia tetap setia memanjatkan doa untuk kebaikan suaminya. Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku. 

"Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh dihadapan-Mu.  Lakal hamdu ya Rabb. Telah muliakan hamba dengan Al Quran. Kalaulah bukan karena karunia-Mu yang agung ini, niscaya hamba  sudah terperosok kedalam jurang kenistaan.  Ya Rabbi, curahkan tambahan kesabaran dalam diri hamba" tulis Raihana. 

Dalam akhir tulisannya Raihana berdoa:

"Ya Allah inilah hamba-Mu yang kerdil penuh noda dan dosa kembali datang mengetuk pintumu, melabuhkan derita jiwa ini kehadirat-Mu. 

Ya Allah sudah tujuh bulan ini hamba-Mu ini hamil penuh derita dan kepayahan. Namun kenapa begitu tega suami hamba tak mempedulikanku dan menelantarkanku. Masih kurang apa rasa cinta hamba padanya. Masih kurang apa kesetiaanku padanya. Masih kurang apa baktiku padanya? Ya Allah, jika memang masih ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu ini cara berakhlak yang lebih mulia lagi pada suamiku. 

Ya Allah, dengan rahmatMu hamba mohon jangan murkai dia karena kelalaiannya. Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah dia, dengan penuh cinta hamba masih tetap menyayanginya. Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk tetap berbakti dan memuliakannya. Ya Allah, Engkau maha Tahu bahwa hamba sangat mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan teguran-Mu. Ya Allah dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau". 


Tak terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh rasa haru yang luar biasa. 

Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan Raihana terbayang. Wajahnya yang baby face dan teduh, pengorbanan dan pengabdiannya yang tiada putusnya, suaranya yang lembut, tanganya yang halus bersimpuh memeluk kakiku, semuanya terbayang mengalirkan perasaan haru dan cinta. Dalam keharuan terasa ada angina sejuk yang turun dari langit dan merasuk dalam jiwaku. Seketika itu pesona Cleopatra telah memudar berganti cinta Raihana yang datang di hati. Rasa sayang dan cinta pada Raihan tiba-tiba begitu kuat mengakar dalam hatiku. Cahaya Raihana terus berkilat-kilat dimata. 

Aku tiba- tiba begitu merindukannya. Segera kukejar waktu untuk membagi Cintaku dengan
Raihana. Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan air mataku yang menetes sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua, nyaris tangisku meledak. Kutahan dengan nafas panjang dan kuusap air mataku. Melihat kedatanganku, ibu mertuaku memelukku dan menangis tersedu-sedu. Aku jadi heran dan ikut menangis. 

" Mana Raihana Bu?". 

Ibu mertua hanya menangis dan menangis. 
Aku terus bertanya apa sebenarnya yang telah terjadi. " 

Raihana... istrimu.. istrimu dan anakmu yang dikandungnya". 
"Ada apa dengan dia?".
 
"Dia telah tiada". 

"Ibu berkata apa!". 

"Istrimu telah meninggal seminggu yang lalu. Dia terjatuh di kamar mandi. Kami membawanya ke rumah sakit. Dia dan bayinya tidak selamat. Sebelum meninggal, dia berpesan untuk memintakan maaf atas segala kekurangan dan kekhilafannya selama menyertaimu. Dia meminta maaf karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia meminta maaf
telah dengan tidak sengaja membuatmu menderita. Dia minta kau meridhainya".
Hatiku bergetar hebat. " Dunia tiba-tiba gelap semua... 
***Tamat***


#Pudarnya Pesona Cleopatra ( Novel Psikologi Islam Pembangun Jiwa ) 
Karangan : Habiburrahman El Shirazy ( Penulis Novel best seller Ayat-ayat cinta) 

Maksud Hatee - Rara Tarmizi

Maksud hatee lon teumanyong
Karna bungong jroh di mata
Cuba jaweub lon teumanyong
Peu keuh bungong ka na tanda


Sabab galak dalam hatee
Karena ceudah hana sabee

Supaya bungong bek layee lee
Bah le lon pet saboh tangke


Rasa hatee lon that bimbang
Akan gata hai idaman
Ceudah rupa lon eu hanban
Meunan rasa lam pandangan

Menyoe cut bang ka setuju
Jak le ta langkah bak teungku
Mangat puleh rasa rindu
Uroe malam mangat lon eu

Lon eu di langet bintang
Cahya meu ble-ble
Uroe malam teubayang

teuingat sabee

Neukhem hai sayang
Neukhem hai intan
Mangat Hatee lon seunang
Watee lon pandang

Jumat, 28 Juni 2013

KERINDUAN TAK BERPERA

Engkau Laksana Telaga
Air mataku tumpah tak terkira
Memendam rindu tiada tara


Tak kusangka betapa aku tersiksa
Ketika belahan jiwa tiada di depan mata


Badai itu mencabik-cabik kita
Menghempas, menusuk dan menorehkan luka
Kadang aku menjadi gelombang yang murka
Saking nyerinya, saking aku tak kuasa


Namun kau laksana baja
Tak bergeming dengan segala murka
Kau bahkan laksana telaga
Meneduhkan, menyirami jiwa yang dahaga


Dirimu yang bagaikan baja
Dirimu yang bagaikan telaga
Membuat semua badai reda


Membuat rindu dan cinta, selalu ada
Kupersembahkan bagimu, pasangan sayapku
Dengan segala rindu dan cinta

MENDAMBAMU


Berlalu sang waktu
berabad sudah aku jauh darimu
dalam hitam legam jaman di wajahku

Mendambamu merindumu
hadir kembali dalam setiap langkah hidupku
Muhammad Ya Rasullullah

Ya Nabi Ya Habibi
semoga Allah selalu merahmatiMu
dengan cinta kasih dan keselamatan umatmu

Di wajahmu di langkahmu
di setiap hela napas yang terpancar cahaya
teranglah gelapnya jiwa

Allahumma shali wassalim alla Muhammad
Ya Rasullullah
Allahumma shali wassalim wabarik allaihi

Muhammad karenamu
tersingkaplah jalan cinta hamba kepadamu
terang hati dengan cahaya di jalanmu

Mendambamu merindumu
hadir kembali dalam setiap langkah hidupku
hadirlah gelap kan sirna

Ya nabi Ya habibi
Ya Muhammad

Karena Cinta Bukalah Dosa

Aku mencintaimu seperti diriku
Tanpa haru yang menderu
Tanpa hati yang mematri

Tanpa asa yang bersemi

Aku mencintaimu semampu diriku
Tanpa kehadiranmu
Tanpa pujian
Tanpa bersentuhan
Tanpa berpelukan

Aku mencintaimu sebanyak langkahku
Tanpa untaian kata cinta
Tanpa hasrat yang menggebu
Tanpa keberadaan yang berpadu

Hanya bayangan hatiku dan hatimu yang menyatu
Karena cinta bukanlah dosa
Tetapi cinta adalah kejujuran jiwa
Hingga sampai nanti indah pada waktunya


#Teruntuk Engkau yang disana.
Insan Yang Allah pilihkan untukku.
Yang kelak kan ersatu padu.

Dalam janji cinta, Mistaqan Ghaliza.

PENERANG HATI

MencintaMu tenangkan jiwa
MerinduMu hatiku selalu
Hanya diriMu satu cintaku

Takkan mampu ku jauh dariMu
Satu nafas ku harap Kau ada
Hanya padaMu, Tuhan ku rayu

Ku akan mencintaMu
Selalu merinduMu, seluruh jiwaku
Kau terangi aku

Engkau penjaga hatiku
Pendamping jiwaku
Cerahkan cintaku
Cinta yang abadi

Jangan pernah kau menjauh
Ku akan mencintaMu
Selalu merinduMu seluruh jiwaku
Kau terangi aku

Engkau penjaga hatiku
Pendamping jiwaku
Cerahkan cintaku
Cinta yang abadi

Untuk Seorang sahabat

Tak perlu segalau itu,
Dia masih disana dengan senyum dan tangisnya.
Menertawai kelemahan dan menangisi ketegaran,

Yang coba dia ciptakan.

Tak perlu seresah itu,
Dia masih disana..
Duduk mengunci sabar agar tak berlalu darinya.
Mencoba acuh dari ejekan nurani yang mencibirnya.

Dia masih disana.
Menikmati tiap kegaduhan rasa dalam dada.
Menonton sikap adil dan bijak,

Yang gagal tampil menawan dalam episiode mimpinya.

Dia masih di sana.
Menunggu rute perjalanan takdir,

Yang pasti akan berujung.

Dan dia sadar terkadang,

Pantai indah yang dia singgahi harus rela dia tinggalkan.
Karena kebahagiaan sejati itu bukan disini,tapi disana.

Dan terkadang senyum itu harus diciptakan,

Kala alasan untuk tersenyum tiada lagi bisa dia temukan.

Sabda Cinta


Bila cinta menyapa keindahan surga terlukis di jiwa..
sehari tak bersua resah dan gelisah tiada terkira..
hanyalah berjumpa jadi penawarnya,
seakan di dunia tiada yang lainnya..

Bila cinta menghilang neraka dunia seakan menjelma..
hancur hati merana derai air mata membasuhi dunia..
seakan semua tiada berguna berkah yang dipunya tiada nilainya..

Dinding kaca bukannya batu,
 janganlah salah menaruh besi..
jatuh cinta jangan terlalu, 
bila berpisah hancurlah hati..

Cinta yang datang jangan dihadang, 
cinta yang hilang jangan dikenang..
cinta hakiki takkan terbagi, 
cinta sejati takkan terganti..

Jangan kau hanyut terlalu dalam..
cinta bisa membawamu terseret arus derita..
jangan terlalu besar mencinta.. 
cinta bisa membuatmu hilang hati hilang akal..

Bila berpisah hancurlah hati.. 
Bila berpisah hancurlah hati..

Ice Cream Banana Split

Satu sore di sebuah mal, seorang anak berusia sekitar 8 tahun berlari kecil. Dengan baju agak ketinggalan mode, sandal jepit berlumur tanah, berbinar-binar senyumnya saat dia masuk ke sebuah counter es krim ternama.

Karena tubuhnya tidak terlalu tinggi, dia harus berjinjit di depan lemari kaca penyimpan es krim. Penampilannya yang agak lusuh jelas kontras dibanding lingkungan mal yg megah, mewah, indah dan harum. “Mbak, Sunday cream berapa?” si bocah bertanya, sambil tetap berjinjit agar pramusaji dapat melihat  sedikit kepalanya, yang rambutnya sudah lepek basah karena keringatnya berlari tadi.  “Sepuluh ribu!” yang ditanya  menjawab.

Si bocah turun dari jinjitannya, lantas merogoh kantong celananya, menghitung recehan dan beberapa lembar ribuan lusuh miliknya. Kemudian
sigap cepat si bocah menjinjit lagi. 

“Mbak, kalo Plain cream yang itu berapa?” Pramusaji mulai agak ketus, maklum di belakang pelanggan yang ingusan ini, masih banyak pelanggan “berduit” lain  yang mengantri. “Sama aja,  sepuluh ribu!” jawabnya. 

Si bocah mulai menatap tangannya di atas kantong, seolah menebak berapa recehan dan ribuan yang tadi dimilikinya. “Kalau banana split berapa, Mbak?” “Delapan ribu!” ujar pramusaji itu sedikit menghardik tanpa senyum.  

Berkembang kembali senyum si bocah, kali ini dengan binar mata bulatnya yang terlihat senang, "ya, itu aja Mbak, tolong 1 piring”. Kemudian si bocah
menghitung kembali uangnya dan memberikan kepada pramusaji yang sepertinya sudah tak sabar itu. 

Tidak lama kemudian sepiring banana split diberikan pada sibocah itu, dan pramusaji tidak lagi memikirkannya. Antrian pelanggan yang tampak lebih rapi dan berdandan trendi banyak sekali mengantri. Detik berlalu menit, dan menit berlalu. 

Si bocah tak terlihat lagi dimejanya, Cuma bekas piringnya saja. Pramusaji tadi bergegas membersihkan sisa pelanggan lain. Termasuk piring bekas banana split bekas bocah tadi. Bibirnya sedikit terbuka, matanya sedikit terbebalak.
 
Ketika diangkatnya piring banana split bocah tadi, di baliknya Ditemukan 2 recehan 500 rupiah dibungkus selembar seribuan. Apakah ini? Tips? Terbungkus rapi  sekali... rapi ! Terduduk si pramusaji tadi, di kursi bekas si bocah menghabiskan Banana splitnya. 

Ia tersadar, sebenarnya sang bocah tadi bisa saja Menikmati Splain Cream atau Sunday chocolate, tapi bocah itu mengorbankan keinginan pribadinya dengan maksud supaya bisa memberi tips kepada dirinya. Sisa penyesalan tersumbat di kerongkongannya.

Disapu seluruh lantai dasar mall itu dengan matanya, tapi bocah itu tak tampak lagi.

#NB: Penyesalan selalu datang belakangan. Hargailah sesama, tanpa memandang status sosial, membedakan orang kaya dan orang miskin dalam mengasihi. Selalulah berbuat baik, terhadap siapa saja, kapan saja, dan dimana saja engkau berada. Semoga bermanfaat.

Kamis, 27 Juni 2013

Tips Memuji dan Dipuji dalam Islam

Di antara fenomena umum yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari, adalah fenomena pujian. Secara garis besar, pujian bisa diklasifikasikan dalam tiga bentuk: pujian yang diucapkan untuk menjilat, pujian yang sifatnya hanya basa-basi belaka, serta pujian yang diucapkan sebagai ekspresi kekaguman.

Bila disikapi secara sehat dan proporsional, pujian bisa menjadi positif yang dapat memotivasi kita agar terus meningkatkan diri. Namun, kenyataannya, pujian justru lebih sering membuat kita lupa daratan, lepas kontrol, dan seterusnya. Semakin sering orang lain memuji kita, maka semakin besar potensi kita untuk terlena, besar kepala, serta hilang kendali diri. Padahal Allah Swt. mengingatkan dalam firmanNya:

Artinya:
"Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui siapa orang yang bertakwa.” (Qs. Al-Najm; 32). 

Agar dapat menyikapi pujian secara sehat, Nabi Saw. memberikan tiga kiat yang sangat menarik untuk diteladani. Pertama, selalu mawas diri supaya tidak sampai terbuai oleh pujian yang dikatakan orang. Oleh karena itu, setiap kali ada yang memuji beliau, Nabi Saw. menanggapinya dengan doa: “Ya Allah, janganlah Engkau hukum aku karena apa yang dikatakan oleh orang-orang itu.” (HR. Al-Bukhari). 

Lewat doa ini, Nabi Saw. mengajarkan bahwa pujian adalah perkataan orang lain yang potensial menjerumuskan kita. Ibaratnya, orang lain yang mengupas nangka, tapi kita yang kena getahnya. Orang lain yang melontarkan ucapan, tapi malah kita yang terjerumus menjadi besar kepala dan lepas kontrol.

Kedua, menyadari hakikat pujian sebagai topeng dari sisi gelap kita yang tidak diketahui orang lain. Karena, sebenarnya, setiap manusia pasti memiliki sisi gelap. Dan ketika ada seseorang yang memuji kita, maka itu lebih karena faktor ketidaktahuan dia akan belang serta sisi gelap kita. Oleh sebab itu, kiat Nabi Saw. dalam menanggapi pujian adalah dengan berdoa: “Dan ampunilah aku dari apa yang tidak mereka ketahui (dari diriku)”. (HR. Al-Bukhari).

Dan kiat yang ketiga, kalaupun sisi baik yang dikatakan orang lain tentang kita adalah benar adanya, Nabi Saw. mengajarkan kita agar memohon kepada Allah Swt. untuk dijadikan lebih baik dari apa yang tampak di mata orang lain. Maka kalau mendengar pujian seperti ini, Nabi Saw. kemudian berdoa: “Dan jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka kira”. (HR. Al-Bukhari).

      Selain memberikan teladan kiat menyikapi pujian, Nabi Saw. dalam keseharian beliau juga memberikan contoh bagaimana mengemas pujian yang baik. Intinya, jangan sampai pujian yang terkadang secara spontan keluar dari bibir kita, malah menjerumuskan dan merusak kepribadian sahabat yang kita puji. Ada beberapa teladan yang dapat disarikan dari kehidupan Nabi Saw., yaitu di antaranya:

        Pertama, Nabi Saw. tidak memuji di hadapan orang yang bersangkutan secara langsung, tapi di depan orang-orang lain dengan tujuan memotivasi mereka. Suatu hari, seorang Badui yang baru masuk Islam bertanya tentang Islam. Nabi menjawab bahwa Islam adalah shalat lima waktu, puasa, dan zakat. Maka Orang Badui itupun berjanji untuk menjalankan ketiganya dengan konsisten, tanpa menambahi atau menguranginya. Setelah Si Badui pergi, Nabi Saw. memujinya di hadapan para Sahabat, “Sungguh beruntung kalau ia benar-benar melakukan janjinya tadi.” Setelah itu beliau menambahi, “Barangsiapa yang ingin melihat penghuni surga, maka lihatlah Orang (Badui) tadi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari Thalhah ra).

Kedua, Nabi Saw. lebih sering melontarkan pujian dalam bentuk doa. Ketika melihat minat dan ketekunan Ibn Abbas ra. dalam mendalami tafsir Al-Qur’an, Nabi Saw. tidak serta merta memujinya. Beliau lebih memilih untuk mendoakan Ibn Abbas ra: “Ya Allah, jadikanlah dia ahli dalam ilmu agama dan ajarilah dia ilmu tafsir (Al-Qur’an).” (HR. Al-Hakim, dari Sa’id bin Jubair). 

Begitu pula, di saat Nabi Saw.  melihat ketekunan Abu Hurairah ra. dalam mengumpulkan hadits dan menghafalnya, beliau lantas berdoa agar Abu Hurairah ra. dikaruniai kemampuan untuk tidak lupa apa yang pernah dihapalnya. Doa inilah yang kemudian dikabulkan oleh Allah Swt. dan menjadikan Abu Hurairah Ra sebagai Sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits.

Pujian yang dilontarkan orang lain terhadap diri kita, merupakan salah satu tantangan berat yang dapat merusak kepribadian kita. Pujian dapat membunuh karakter seseorang, tanpa ia sadari. Oleh karena itu, ketika seorang Sahabat memuji Sahabat yang lain secara langsung, Nabi Saw. menegurnya: “Kamu telah memenggal leher temanmu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Bakar ra).

Senada dengan hadits tersebut, Ali ra. berkata dalam ungkapan hikmahnya yang sangat populer, “Kalau ada yang memuji kamu di hadapanmu, akan lebih baik bila kamu melumuri mulutnya dengan debu, daripada kamu terbuai oleh pujiannya.”

Namun ketika pujian sudah menjadi fenomena umum ditengah-tengah masyarakat kita, maka yang paling penting adalah bagaimana menyikapi setiap pujian secara sehat agar tidak sampai lupa daratan dan lepas kontrol; mengapresiasi setiap pujian hanya sebagai topeng dari sisi gelap kita yang tidak diketahui orang lain; serta terus berdoa kepada Allah Swt. agar dijadikan lebih baik dari apa yang tampak di mata orang. 

Selain itu, yang tidak kalah pentingnya, kalaupun perlu memuji seseorang adalah bagaimana bisa mengemas pujian secara sehat. Memuji tidak mesti dengan kata-kata, tapi akan lebih berarti bila diekspresikan lewat dukungan dan doa. Sehingga dengan demikian, kita tidak sampai menjerumuskan orang yang kita puji.

Oleh : Ustadz Abdullah Hakam Syah, Lc

JANGAN MENIPU DIRI SENDIRI DENGAN TERLENA OLEH PUJIAN

Seekor rubah melihat seekor burung gagak terbang dengan membawa sepotong keju di paruhnya dan hinggap di atas sebuah pohon.

"Hmm.... keju itu harus jadi milikku" gumam si Rubah.

Dan diapun berjalan mendekati batang pohon itu.

"Selamat siang Gagak yang cantik, si Rubah memuji." Betapa cantiknya kamu hari ini, Betapa mengkilapnya bulumu, Sungguh sangat indah sinar matamu, Saya yakin suaramu lebih indah dari burung burung yang lain.

Ijinkan saya mendengarkan satu lagu darimu, dan saya akan menyapa kamu dengan sebutan si Ratu Burung."

Burung gagak itupun mulai mengangkat kepalanya dan mencoba bernyanyi sebaik mungkin tetapi ketika dia membuka mulutnya, keju yang ada dimulutnya jatuh ke tanah, dengan seketika si Rubah menangkap keju yang jatuh tersebut.

"Haha, itulah yang akan saya lakukan, itulah yang saya inginkan, sebagai pertukaran dengan kejumu, Saya akan memberimu nasehat, untuk dimasa yang akan datang, bahwa jangan langsung percaya kepada orang yang memberimu pujian.

Cinta pujian dan takut dicaci merupakan ciri cinta dunia.
Kalau kita terjebak dengan menikmati pujian, maka kita akan masuk dalam perangkap ujub.
Indikasinya saat kita merasa shaleh, maka dengan itu akan terbentuklah hijab dirinya dengan Allah SWT.

Di lain hal, Allah SWT-lah yang mengatur dengan menggerakkan orang yang memuji, bisa jadi, dengan maksud untuk menguji kita, apakah akan jujur pada dirinya sendiri atau tidak.
 
Do'a ketika dipuji oleh orang:
Allahumma anta a’lamu minni bi nafsiy, wa anaa a’lamu bi nafsii minhum. Allahummaj ‘alniy khairam mimmaa yazhunnuun, wagh-firliy maa laa ya’lamuun, wa laa tu-akhidzniy bimaa yaquuluun.

Artinya:
Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku sendiri dan aku lebih mengetahui keadaan diriku daripada mereka yang memujiku. Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka sangkakan, ampunilah aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui dariku, dan janganlah menyiksaku dengan perkataan mereka. ( Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 4:228, no.4876. Lihat Jaami’ul Ahadits, Jalaluddin As Suyuthi, 25: 145, Asy Syamilah).

Wassalam, Semoga bermanfaat.

Tahajud Cinta

 
 
“Sudahlah, Lan. Kamu nikah dulu juga enggak apa-apa!” Kataku pada Lani.

Lani mau menikah. Orang tua kedua belah pihak sudah setuju. Namun orang tuaku menyuruh Lani menunda sampai aku lebih dulu menikah. Semula Lani setuju. Namun setelah setahun lebih berlalu dan aku belum nemuin jodoh, dia mulai resah.

“Aku sih enggak masalah, mbak. Tapi bapak ibu. Mbak tahu sendiri kan mereka berkeras enggak mengizinkan,” kata Lani.

“Kapan sih kamu nikah?” tanyaku sambil menatap adikku.

“Pengenku tahun depan, Mbak. Sekalian bisa pindah ke rumah kami,” kata Lani terang.

“Doain tahun ini aku dapat jodoh dan nikah,” kataku pelan.

“Tapi mbak Sinta juga mesti usaha, cari jodohmu, Mbak! Jodoh juga enggak datang sendiri dari langit,” kata Lani.

Aku hanya tersenyum. Tidak mudah melupakan dia. Aku sendiri tidak tahu di mana sosok itu berada. Tapi aku sungguh tidak bisa melepaskan bayangannya dari benakku.
Cinta Masa Lalu.
***

“Kamu ngebingungin!” seru Vina, sahabatku padaku.“Ngebingungin gimana?”

“Kenapa kamu enggak milih aja satu dari lelaki yang ngedeketin kamu? Enggak ada orang yang sempurna Sin. Pilih satu dong!”

“Aku enggak bisa”

“Kenapa?”

“Hatiku bukan untuk mereka.”

“Lalu untuk siapa?” Tanya Vina kudengar penasaran.

“Sulit kujelaskan,” kataku pelan. “Kamu enggak kenal.”

“Dia mencintaimu?”

“Itu yang aku enggak tahu.”

“Jadi kamu jatuh cinta pada orang yang enggak kamu tahu apa dia suka kamu apa enggak? Oh Tuhan!” seru Vina sambil melotot padaku.

“Mungkin”

“Kamu enggak coba cari tahu soal dia?”

“Aku enggak terlalu dekat sama dia waktu kuliah. Setelah Lulus dan kerja, aku enggak pernah ketemu.”

“Kenapa kamu enggak ngelupain saja?”

“Aku juga enggak ngerti. Aku ngerasa dia itu jodohku. Padahal, sekarang aku enggak tahu apa-apa soal dia.”

“Aneh,” kata Vina pelan

“Kamu ada usul?” tanyaku.

“Cari dia. Ada temannya yang kamu kenal kan? Hubungi dia, siapa tahu bisa membantu.”

“Gimana kalau dia sudah punya calon istri, atau malah sudah menikah?” tanyaku. Aku sudah lama banget tidak ketemu hasan. Mungkin saja dia sudah nikah.

“Kamu toh belum tahu apa-apa soal dia,” bantah Vina. “Apa aku boleh bantu?”Aku menggeleng. “Aku akan cari sendiri.”

Vina mengangguk. “Oke”. Tapi kamu juga mesti ngebuka diri untuk laki-laki lain. Siapa tahu yang kamu cari itu ternyata bukan jodohmu,” pesan Vina sebelum berlalu.Kuputuskan untuk mencari Hasan. Sayang, sampak aku lelah belum juga kutemukan sosoknya. Lelaki sholeh dengan wajah teduh yang tidak pernah hilang dari hati dan benakku itu, seperti lenyap ditelan bumi. Tidak ada seorang pun yang tahu di mana dia. Beberapa teman yang kuanggap tahu dan kenal dengan Hasan, tidak tahu pula di mana Hasan. Alamat rumahnya yang kuperoleh dari petugas administrasi kampus, sudah ganti pemilik. Pemilik yang baru tidak tahu ke mana keluarga Hasan pindah.

“Sinta, ntar malam dating loh ke pestanya Imel! Banyak jomblo juga loh!” seru sari padaku.

“Yo!” kataku singkat.

Malam harinya aku datang ke pesta ulang tahun Imel. Pestanya meriah sekali. Banyak lelaki yang sengaja dikenalkan imel padaku. Dari perkenalan itu, berlanjut dengan pertemuan demi pertemuan. Namun selalu, aku merasa ada yang tidak cocok. Selera makannya yang beda jauh, lelaki pelit dan penuh perhitungan, belum lagi ada yang tidak peduli soal agama. Aku sampai sedih dan menghentikan kebiasaan itu. Capek dan sungguh melelahkan.

Kini aku mulai membongkar kembali buku almamater dan menghubungi beberapa teman lelaki. Satu dua memang masih lajang, beberapa sudah nikah. Hubungan dengan teman-temanku yang masih lajang pun bisa berlangsung. Namun aku tidak cocok dengan mereka. Bahkan ada salah seorang diantara mereka yang terang-terangan bilang, tidak ingin punya istri yang penghasilannya jauh di atasnya. Tentu saja aku syok mendengar itu.Sempat terpikir olehku kekayaan dan keberhasilanku, jadi penghalang untuk menemukan jodoh. Laki-laki pasti tidak akan mau kalah dari istrinya. Tapi, apa iya aku harus ngelepasin begitu saja karir yang kurintis bertahun-tahun dengan susah payah? Aku hanya bisa menangis sedih.

“Baiklah kamu ikutan kontak jodoh aja, Sin. Sebutin criteria kamu dan pilih yang paling cocok. Lalu ajak ketemuan,” saran Vina

Aku pun mengikuti rubrik kontak jodoh dari beberapa harian terkemuka. Surat yang masuk pun cukup banyak. Mereka juga ingin bertemu denganku. Namun kembali, kegagalan harus kutemui. Tidak ada yang mau serius, setelah tahu kedudukan dan kesuksesanku. Aku makin terpuruk. Niatku untuk mencari Hasan kembali menggebu. Sayangnya aku tidak tahu mesti mencari ke mana.

“kenapa kamu masih ngotot nyari dia, Sin?” Tanya Vina.

“Aku juga enggak tahu. Kalo dia sudah nikah, enggak masalah. Kalo belum, aku akan bilang perasaanku. Dulu aku ngejauh darinya, karena aku khawatir kalo buru-buru nikah, aku enggak bisa bantu orang tua dan adik-adikku, Vin. Sekarang tidak ada lagi, yang jadi bebanku. Setidaknya kalo dia nolak aku, aku sudah siap. Aku akan cari orang lain. Tapi aku harus ketemu dia dulu,” kataku bersikeras.

Vina memelukku. “Sabar ya Sin. Allah pasti ngasih yang terbaik untukmu!”

Siang itu, aku termenung di ruangan kerjaku. Aku merasa tidak ada harapan. Ke mana kucari, jodoh itu belum juga kutemukan. Aku meraih telepon dan menghubungi rumah.

“Bu, kenapa ibu enggak ngizinin Lani nikah dulu? Sinta engga keberatan,” kataku pelan, khawatir ibuku marah.
 
“Sinta, kamu itu lebih tua. Sudah seharusnya kamu yang menikah lebih dalu”.

“Tapi Bu, Sinta belum punya calon. Lani dan calonnya sudah siap nikah. Ibu tahu kan, nunda-nunda pernikahan mereka bisa berakibat buruk?” tanyaku.

“Ibu tahu. Persoalan kamu itu memang berat,Sinta. Tapi Ibu yakin, itu enggak akan lama. Kamu sendiri yang harus menyelesaikan”.

“Maksud Ibu?” tanyaku tidak mengerti.

“Kamu sudah mencari-cari jodohmu, ibu yakin itu. Tapi usahamu belum total, Nak. Kamu hanya menggantungkan usahamu pada kemampuan lahir. Kamu belum meminta pada Allah. Shalat tahajudmu mungkin yang kurang.”

Aku tertegun mendengar perkataan ibuku. Hatiku langsung bergetar hebat. Aku seperti langsung diingatkan pada sesuatu yang belakangan ini nyaris kutinggalkan. Shalat malam, shalat tahajud. Sejak kesibukkan kerjaku yang bikin aku harus sering pulang malam, aku memang jadi lalai melakukan tahajud.Gimana aku bisa shalat, kalo pulang kantor sudah jam satu pagi? Tiba di rumah ingin langsung tidur, pagi shubuh maksain diri bangun untuk shalat dan kemudian nerusin tidur sampai jam Sembilan pagi.

“Sinta? Kamu masih di sana, Nak?” Tanya ibuku mungkin karena lama tidak mendengar suaraku.

“Iya bu. Sinta masih dengar. Sinta dengerin nasehat ibu,” kataku pelan.

“Sebaiknya kamu perbanyak puasa sunah, perbanyak sedekah, dan shalat tahajud, Nak. Ibu yakin, kamu sudah bertemu dengan jodohmu. Tapi waktunya belum pas.”

“Doain Sinta kuat ya Bu!” seruku kemudian.

“Tentu, ibu pasti akan mendoakan untuk kebaikanmu, Nak,” kata ibuku lagi sebelum kemudian hubungan telepon terputus.

Aku masih tertegun di mejaku. Pembicaraan dengan ibuku terasa menohok nuraniku. Aku menatap tumpukan kerjaanku. Aku yakin, hari ini pun aku akan kembali pulang larut malam.

Aku menggelengkan kepalaku. Aku harus mengatur waktu agar bisa pulang lebih awal. Langsung kutulis daftar prioritas hari ini agar aku tahu persis apa yang perlu ku urusi secepatnya.

Untuk sementara aku matikan hp-ku dan serius bekerja. Beberapa buku yang tinggal memeriksa bagian akhirnya, kini satu persatu mulai kuselesaikan.

“Turunkan naskah ini, Wi! Siap untuk masuk cetak! Kabari editornya untuk ngecek soal desain covernya!” seruku sambil menyerahkan empat naskah yang sudah kuperiksa. “Ada telpon untuk saya?”

“Iya, sudah saya catat, Mbak!” seru Dewi, “Bu Nila minta ketemu, waktunya terserah Mbak Sinta minggu ini!”

Bu Nila adalah salah satu pemegang saham di perusahaan tempatku bekeja. Akupun mulai menelepon orang-orang yang ada di daftar Dewi. Tidak lebih dari setengah jam, aku sudah menyelesaikan tugasku. Sembilan lewat dua puluh menit. Aku meletakkan naskah yang sudah kutandatangani di meja Dewi agar diturunkan untuk cetak dan memberitahu editornya. Aku pulang dengan perasaan lega.


Malam itu, aku tidur lebih awal. Jam setengah tiga pagi aku terbangun karena bunyi jam weker. Rasanya berat untuk membuka mata. Namun karena merasa tidak ada lagi yang membantuku selain Allah, aku pun memaksakan diri untuk bangun. Kusingkirkan selimutku dan beranjak ke kamar mandi. Meskipun Jakarta panas sepanjang waktu, tetap saja keengganan menguasaiku untuk berwudhu. Setelah shalat dan menunggu waktu subuh, ternyata aku harus tidur lagi. Kantukku terasa lebih kuat dari niatku untuk langsung beraktivitas.

Hari demi hari kulalui dengan memaksakan diri untuk shalat tahajud. Sesekali rasa malas dan bosan pun menguasai diriku. Terlebih setelah hampir satu bulan ini toh tidak ada perubahan dalam hidupku. Tidak ada lelaki datang yang sesuai dengan impianku. Tidak ada pula tanda-tanda aku bakalan menemukan Hasan. Semuanya terasa tetap jauh dari impian dan harapanku.

Aku sering sedih menyadari kenyataan yang kuhadapi. Namun toh aku tetap bersikeras untuk shalat tahajud, karena di waktu itulah aku bisa mengadukan semua jeritan hatiku pada sang Khalik. Aku bisa melumpahkan semua tangisanku tanpa perlu takut ada orang yang menertawai. Aku bisa mengungkapkan semua permohonan dan keinginanku.

Aku percaya Allah pasti mendengarkan semuannya. Mungkin saja Allah masih menyembunyikan jodohku karena akan memberi yang terbaik untukku. Bukankah yang paling baik itu selalu melalui proses yang panjang?

Sebenarnya aku juga ingin cepat menikah. Aku juga tidak ingin membuat orang tuaku sedih karena adikku harus mendahului aku. Namun apa mau dikata. Ketika waktu terus berlalu, adikku Lani jadi tidak bisa sabar lagi. Aku pun harus mengizinkan dia untuk menyiapkan segala sesuatunya, termasuk rencana lamaran oleh keluarga calon suaminya. Setiap malam aku tersungkur pada sujud yang panjang. Rasanya tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain meminta pada-Nya.

Hari-hari berlalu. Aku tetap belum menemukan jodohku. Sementara lamaran pada adikku sudah dilakukan. Meskipun mencoba tegar, tetap saja hatiku menangis. Tetap saja ada yang terasa berat di sudut terdalam diriku. Ternyata ibuku benar. Menerima hal seperti ini butuh kebesaran hati dan jiwa.
***
 
“Mbak Sinta, siang ini Bu Nila minta bertemu. Soalnya minggu depan dia harus terbang ke Amrik untuk menghadiri wisuda anaknya,” kata Dewi padaku.

“Oke, saya telpon langsung Wi,” kataku pelan.

Jam dua belas siang aku meninggalkan kantor untuk ketemu Bu Nila. Mungkin saja Bu Nila ada ide-ide brilliant untuk kemajuan usaha di kantorku. Kafe itu terlihat ramai. Aku melangkah masuk untuk mencari Bu Nila. Bu Nila terlihat melambaikan tangan padaku. Aku langsung menghampirinya.

“Sudah pesan kok, Mbak Sinta. Tinggal tunggu anak saya,” kata bu Nila. “masih di jalan.”

Kami pun serius membicarakan investasi dan rencana kerja sama yang lebih luas. Tiba-tiba bu Nila tersenyum. “nah, itu anak saya!” serunya senang.

Aku ikut menoleh. Jantungku langsung berdetak-detak saat tahu sosok tinggi jangkung yang akan menghampiri tempat kami.

“Assalamu’alaikum. Maaf, Ma. Macet,” katanya yang langsung duduk dan sejenak menatapku agak lama. Aku hanya bisa menunduk.

“Wa’alaikumsalam. Tidak apa. Mbak Sinta ini anak saya, Hasan,” kata Bu Nila. “Dia belum punya calon istri. Padahal minggu depan wisuda. Saya pikir siapa tahu ada jodoh sama Mbak Sinta, makanya saya kenalin,”tambahnya.

Hasan tertawa.”kalo ini saya sudah kenal. Apa kabar Sinta? Mau nerima lamaran saya enggak? Mau dong, soalnya selama ini saya Istikharah yang muncul cuma wajah Sinta. Tapi saya enggak tahu gimana carinya. Soalnya abis lulus S-1 saya langsung lanjutin studi S-2 dan S-3 di Amerika,”terang Hasan pelan.

Aku langsung mendongak. Aku merasa tidak percaya dengan penuturan Hasan. Gimana mungkin semuanya terjadi? Lelaki yang kuharapkan siang malam hingga aku sering merasa tidak bisa menerima lelaki lain, kini ada dihadapanku. Bahkan ‘meminta’ karena petunjuk dari shalat istikharah. Apakah itu bukan sesuatu yang luar biasa? Aku masih diam. Aku tidak tahu harus ngomong apa pada Hasan dan ibunya. Aku tidak menyangka bu Nila yang sekian tahun kukenal adalah ibu dari lelaki yang selama ini kucari-cari.

“kok bengong? Apa jawaban atas pertanyaan Hasan, Nak Sinta?” Tanya bu Nila memecah kediaman di antara kami.

“Iya, Ibu. Insya Allah. Saya sungguh enggak tahu kalo bu Nila ibu Hasan, orang yang selama ini saya cari-cari.”

“Lho, kenapa cari-cari saya? Dulu waktu kuliah kok engga mau dekat?” Tanya Hasan sambil tertawa.

Aku tidak menjawab.

Bu Nila tertawa. “kalo orang berjodoh biasanya akan saling merasa.”

“Benar itu, Ma. Saya juga merasa begitu. Apa Sinta pernah merasa kalo kita bakalan berjodoh?” Tanya Hasan padaku.

Aku mengangguk, kemudian tertegun. Tiba-tiba aku ingat ibuku. Mungkin ini balasan dari Tahajud dan doa-doa beberapa malam terakhir yang jadi kebiasaan rutinku lagi, setelah sekian lama kutinggalkan.

“Jadi, orang tuaku bisa langsung melamarmu, Sinta? Tanya Hasan.

Aku tersenyum. “Biar kukenalin kamu ke orang tuaku dulu.”

“Setelah itu Mama dan Papa akan mengurus semuanya untukmu, Hasan!” Bu Nila.

Aku benar-benar bersyukur. Alangkah ajaibnya. Allah memberikan apa yang kuminta lewat jalan yang tidak pernah kusangka-sangka. Sungguh Allah Maha Mengabulkan Doa.

***TAMAT***


Penulis : Asma Nadia

Cinta Itu Kamu



Angin malam berhembus, menerawang kedalam pori-poriku. Langkah kecilku menyapu setiap jalan ditengah perkotaan.

"Hmmm,,,,,,,,,,,,," ku menghela nafas panjang. Sedari tadi ku berjalan tak sadar ku sudah berada jauh dari rumahku.

"ah,,,,,mau kemana aku? " aku bertanya tanya sendiri pada diriku. Sejenak fikiranku menerawang kesebuah percakapan tadi di telpon dengan kawanku. Ya ....kawan yang lama-lama mulai bersemai dihatiku.

"Assalamu'alaikum,,,hehehehe" itulah awal Adi menerima telpon atau menelpon. hm,,,,,Adi. Yah….. nama itu yang membawaku menulusuri perjalananku malam ini. Dia adalah seorang teman yang mulai bersemi dihatiku. Dia mulai mengisi langit-langit hatiku, warnanyapun berupa warni-warni pula.

"Wa'alaykumsalam...." jawabku, entah mengapa. setiap dia menghubingi aku, dunia serasa berubah menjadi warna warni pelangi. yang meneduhkan langit setelah hujan atau gerimis.

"gw ganggu ga? " pertanyaan polosnya mulai menggelitik telingaku.

“ya ampun…..gw mah ga akan pernah ke ganggu sama kehadiran lo Di” jawabku

“hehehehe,,,,,makasih yah Rai”

“ada ape nih?”

“ngga ada apa-apa sih cuma kangen aja ama suara lo!”

“Ou…yayaya, secara gitu bidadari emang wajib bin harus kalo dikangenin…hehehe”

“Huh…..penyakit PD lu kumat yah? Udah diminum belom obatnye?”

“Abis di! belum gw tebus lagi, maklum BBM naik lagi”

Aku dan hadipun tertawa sejadinya.

“Eh do’ain gw yah!” pinta Adi disela-sela tawa kami.

“Do’ain apa ?”

“Besok gw mau Khitbah Intan!”

Tak karuan rasanya hati ini, darah seolah naik keatas kepala. Aku menjadi pucat pasi.

“Oh yah? Serius lu?” Tanya ku gugup.

“Ya iyalah, masa becanda gw! Ini masalah serius non!”

Aku langsung terdiam, tertegun sejenak, tak terasa air dimataku menetes, beruraian tak terbendung lagi.

“Baguslah, eh udah dulu yah”

Tanpa basa basi aku langsung menutup telpon dari Adi. Dan inilah awal aku menelusuri perjalanan malam ini.

Sepertinya angin malam mulai menusuk kulit. Aku sangat suka berada ditengah keramaian malam jalanan. Suasana malam selalu membuat hatiku yang bergembira menjadi lebih gembira, dan menjadikan hatiku yang sedih sedikit bergembira. Lampu-lampu kota yang indah jika terlihat dari atas gedung, indah dimalam hari tapi bagai penyulut api disiang hari. Karena panasnya bumi dan sumpeknya isi bumi. Namanya juga kota.

Aku menghela nafas, selalu begitu, menghela nafas untuk mencegah dinding kantung air mata yang akan jatuh satu persatu. Tapi kali ini tak tertahan. Ah……..seharusnya aku bahagia temanku akan meminang seorang wanita sholehah seperti Intan walau aku tak pernah tau siapa dia, dan dimana. Sepertinya aku tak mau tau tentang “INTAN” itu. Tapi Ya Rabb, aku tetap manusia yang punya rasa, dan hati ini tidak bisa dibohongi.

Arlojiku selalu berlari berputar, waktupun tak kunjung usai, dia selalu berjalan dan akan terus berlari tak akan pernah berhenti semasa bumi masih dalam putaran porosnya. Dan hidup ini ? akan tetap kujalani walau hatiku remuk redam.

Aku melangkah pulang, sedikit gontai, tapi ku usahakan tetap tegar.

“Adi kan hanya temanmu Raiyah, teman biasa! Hanya teman Akrab” aku coba untuk menghibur kepiluanku dengan menasehati diriku sendiri.

Pukul 10 tepat aku masuk kerumah. Suasana sudah sunyi sepi, dan aku terhanyut dalam mimpi.
***

Hari bergulir kembali, pagi menyapa, dalam subuh kutergulai lemah, bersimpuh pada yang kuasa, memohon ketegaran diri yang hina, tetesan air mataku tak bisa ku bendung.

“Ya Rahman, aku ternyata benar-benar telah jatuh cinta padanya, hatiku luluh lantah dibuatnya, tak ada lagi episode denganya”

Kutanggalkan mukenaku, kusapa pagi dengan hati yang teduh. Janjiku tak akan melirih padanya lagi.

“Pagi mah !” sapaan hangat untuk ibuku,

“Pagi, semalem pulang jam berapa ?”

Ternyata mamah selalu mengerti aku, beliau tau apa yang berkecamuk dalam benakku. Dan beliau juga tau apa obatnya. Yaitu kesegaran malam.

“Semalam mba Ririn telpon kamu tuh nenk!” mamah masih membolak balik secarik kertas, mungkin daftar belanjaan untuk hari ini.

“Oya?”

Masya Allah, begitu malu aku. Mengingat semua ini aku menjadi rapuh, aku merasa tak berdaya dihadapanNya. Itulah aku yang baru mengenal akan kesempuranaan islam, terlalu banyak khilaf yang ku sengaja. Astagfirullah.

Segera kuhubungi mba Ririn, mataku berkaca-kaca. Ah………, aku begitu cengeng!

Telponnya selalu sibuk, aku maklumi. Karena amanah da’wahnya begitu besar. Selalu kucoba beberapa kali dan nyambung! Alhamdulillah

“Assalamu’alaikum” kusapa seseorang disebrang sana

“wa’alaikumsalam, dek Raiyahkah?” Jitu memang tebakan mba Ririn.

“Iya mba kok tau?”

“Suaramu khas dek”

“Hehehe, semalem mencariku?”

“Iya, kemana kamu kemarin tak ikut kajian?”

“Oh….kemarin dikampus ada rapat dadakan! Memang sms ku tak sampai?”

“Nda ada sms darimu, kebanyakan juga dari suami mba!”

“Weleh, ngga usah diomong juga aku dah tau kali mba, pengantin baru toh! Hehhehe!”

“dasar! Ya wis,,rapopo. Jadi gimana bisa nda ketemu hari ini?”

“insya Allah, jam berapa ?”

“Ba’da Zuhur!”

“Ok! Dirumah mba?”

“Yah!”

“Ya wiss, sudah dulu yah mba. Assalamu’alaikum!”

“wa’alaikumsalam. Ditunggu ya dek”

“OK!”

KLIK.

Telponpun tertutup, aku merenung dan ingin sekali aku berteriak. Tapi lebih baik kunanti malam yang akan menjadi kesaksian kesedihanku.

Tiba dirumah mba Ririn aku langsung memeluknya, dipelukkanya aku merasa nyaman, serasa aku berada di tengah lautan dan duduk disudut perahu. Mba Ririn adalah orang yang selalu mengerti aku, keluh kesahku, riang tawa ku. Dia tau segalanya tentang aku, dan rasa ini? Tak bisa kusembunyikan darinya. Kuceritakan semua keluh kesahku karena Adi, dan tanpa malu aku bilang aku begitu mencintainya.

“Begitulah cinta, dan syaitan bermain. Dalam hati yang ingin kamu keruh untuk dijadikan sejernih air Zam-Zam banyak sekali godaan yang akan kamu pikul. Salahmu, kau menanggalkan hukum syara’ ketika bergaul dengannya, tidakkah kamu malu pada Allah? Perasaan itu akan muncul tanpa diminta dan tanpa di undang, dia akan datang dengan seenaknya lalu pergi begitu saja meninggalkan diri tanpa memandang luka dihati, dan itulah cinta. Kembalikan semuanya kepada Allah, Tetapkan hatimu untukNya”

Bagai embun yang menetes didedaunan ketika kesejukan pagi bernyanyi. Begitu yang kurasakan saat mba Ririn mulai bermain lincah dengan tausyiahnya. Hatiku menjadi tenang, galau sudah meredam. Ku teguk air yang disediakan, untuk menahan titis air mataku, tapi tetap saja aku tak mampu membendungnya.

“Menangislah, suamiku juga nda ada dirumah!”

Cetus mba Ririn sambil berlalu kekamarnya. Mengambilkan satu kotak tisyu untukku, untuk mengapus air mata ini.

“Terima kasih mba”

Mba Ririn hanya tersenyum menggelitik, aku memandangnya penuh Tanya!

“Dasar yah anak muda, makanya! Kenapa Allah menyeru kita untuk segera menikah ketika sudah siap atau berpuasa kalau belum siap. Ya inilah. Ada-ada aja cerita tentang cinta”

Aku hanya meringis, entah ikatan apa yang memeprsatukan kami sehingga tak ada batasan malu diantara aku dan mba Ririn.

“Sudah Adzan Ashar, shalat?” Tanya mba Ririn

“Iya”

“Ambilah wudhu, mintalah padaNya jalan yang terbaik untuk menyelesaikan masalahmu ini. Serahkan semua ini pada Maha dari segala maha, kuasailah dirimu. Jangan pernah syaitan asik berkeliaran tak tentu dalam sini” mba Ririn menunjuk tepat ke arah jantungku berdetak. Aku hanya bias mengedipkan kedua mataku.

Setelah selesai wudhu dan shalat, kulihat mba Ririn tampak rapih.

“Mau pergi yah mba?”

“Iya!”

“Oh….!”

“Mau ikut?”

“Kemana?”

“Kerumahmu!”

“Kerumahku?”

“Iya!”

“Ah….mba ini jangan ngarang! Aku kan ada disini, mau ngapain kerumahku. Oh…mau main ketemu sama mamah?”

“Ngga!”

“terus?”

“Ayo kita berangkat kerumahmu!”


Dalam perjalanan aku bingung dan bertanya-tanya.

“ada apa sih mba?”

“Ngga ada apa-apa kok!”

Aku mulai memendam kecurigaan, biarkan aku bertanya pada diri sendiri.

Tiba dirumah beberapa orang sedang berkumpul, kulihat suami mba Ririn menyapa mba Ririn. Aku terheran, seperti keledai yang sedang dibodohi seekor kancil. Terdiam, termangu, Melongo, dan perasaan aneh berkecamuk.

“Hai Rai!”

Aku begitu kaget melihat Adi ada dirumahku.

“Assalamu’alaikum, hai….”

“Oh…iya lupa, wa’alaikumsalam!”

“Masuk-masuk” perintah Adi padaku.

Wah………apakah dunia sudah mulai terbalik? Yang punya rumah seperti tamu yang baru pertama kali datang kerumah tersebut. Aku mengikuti perintah Adi dan mba Ririn serta suaminya. Ada apa gerangan.

“Kenalin, nih orang tua gw. Ini mamah gw” Tunjuk Adi pada salah satu wanita tua disudut kiri ruang tamu.

“Ini papah gw!”

“Hus….sama calon istri kok gw-gw sih ngomongnya”

Hah? Calon istri? Makin bingung saja aku dibuatnya.

“Iya…..Intan itu Kamu, dan Cinta itu kamu!”

Entah rasa apa yang ada saat ini, pelangi berawankan Guntur. Mungkin lebih Tepat untuk menghiasi hari ini. Dan mba Ririn diam diam berkonspirasi!
***Sekian***

Penulis : Bunga Revolusi

Suami Impian



Penulis : Asma Nadia

“Apa lagi, Nirina?”

Gadis dengan garis wajah oriental itu tak menjawab. Hanya menggoyang-goyangkan kakinya, resah.

“Tak ada yang salah dengan perawakannya, kan? Tidak seperti lelaki yang terakhir datang.”

Nirina tersenyum. Pasti pikirannya melayang ke kejadian tujuh bulan lalu, ketika seorang lelaki datang melamar. Biyan, namanya. Kehadiran sosok tegap itu segera saja membawa kami pada pertengkaran sengit,

”Aku tidak bisa.”

”Kenapa?” kejarku cepat. Ini bukan pertama kali Nirina beralasan. Selalu ada saja kekurangan lelaki yang melamarnya.

Kekanak-kanakan!

Terlalu serius. Lihat keningnya yang terus-terusan terlipat!

Wajahnya aneh, tidak terlihat tulus.

Entahlah, dari caranya berjalan, sepertinya dia tipe lelaki yang suka mendominasi perempuan!

Dan masih ada segudang alasan yang keluar dari bibir tipisnya.

Pun tujuh bulan lalu, ketika aku menerka-nerka keberatannya terhadap Biyan. Wajah lelaki itu simpatik, bahasanya pun santun. Penampilannya memang terbilang biasa, tapi jelek pun tidak.

”Jadi, apa lagi, Nirina?”

Matanya!

Di tempat duduknya, Nirina menggoyang-goyangkan kakinya, persis anak kecil. Tangan gadis itu berkeringat. Jantungnya berdegup lebih keras.

Aku memperhatikan Biyan lebih lekat, seandainya kamera, maka barangkali aku sudah menangkap wajah sederhananya dengan zoom terdekat.

”Tidak ada yang salah dengan matanya!” ujarku, setengah berbisik.

Nirina menggeleng-gelengkan kepala. Kerudung segi empatnya terusik.

Gemas, aku tak lagi bicara. Percuma, toh Nirina lebih sering tak mendengar perkataanku.

Kulihat mereka masih bercakap-cakap, tapi tak ada perkembangan. Upaya kedua orang tua Nirina untuk mengarahkan obrolan ke tingkat lanjutan pun tak menampakkan hasil.

Lima belas menit kemudian, Biyan pamit.

Selesai sudah, pikirku. Nirina memang terlalu.

”Jangan menyebutku terlalu!” protesnya cepat.

Seperti biasa Nirina selalu tahu pikiranku, seperti aku selalu bisa menebak isi kepalanya. Kami memang teramat dekat.

”Tapi kamu memang terlalu, Nirina.”

”Tapi, matanya….”

”Tidak! Bukan matanya. Ayolah, percuma bohong di depanku.”

Nirina menyenderkan badannya di pintu kamar. Kedua tangannya ditangkupkan ke wajah. Tak lama, bahunya mulai terisak-isak.

”Tolong, jangan desak aku terus.”

Entah isaknya, entah memang waktu itu sudah terlalu malam untuk berdebat. Aku mengalah.

Itu yang terjadi tujuh bulan lalu, tapi tidak kali ini.

Rahangku mengeras. Apapun yang terjadi, pokoknya aku sudah bertekad untuk mempertahankan pendapatku mati-matian. Demi kebaikan gadis itu. Nirina tidak bisa terus-terusan begini. Tidakkah dia sadar usia yang terus melaju tanpa hambatan?

”Aku tahu,” desisnya lemah.

Aku gembira mendengarnya. Sungguh. Tidak ada yang lebih menggembirakanku selain keberanian Nirina untuk jujur pada dirinya sendiri.

”Ya, bagus begitu. Mantapkan hatimu, Nirina.”

Nirina tak menjawab. Matanya sesekali mencuri pandang ke arah lelaki ke sekian yang masih terus bicara. Di antara mereka, kedua orang tua Nirina sebaliknya berkali-kali justru melirik anak gadisnya.

Mudah-mudahan kali ini berhasil, barangkali begitu pemikiran mereka. Setidaknya Nirina belum meninggalkan teman satu kantornya itu, meski sudah setengah jam lebih.

”See? Tidak jelek juga kan memberi dirimu kesempatan. Setidaknya kalian sudah satu kantor, pasti lebih mudah, sebab telah saling mengenal.”

Nirina tiba-tiba menggeleng. Melunturkan keyakinan diriku barusan.

”Kami memang satu kantor, tapi beda divisi. Dia orang baru malah. Tak banyak yang kutahu,” bisiknya dengan intonasi yang telah kuhafal.

Tidak! Tuhan, jangan biarkan Nirina menarik dirinya lagi. Kumohon….

Tapi Nirina mulai terlihat tidak nyaman. Kedua kakinya bergerak-gerak lagi. Wajah gadis berkulit kuning langsat itu kembali tak tenang. Puncaknya….

Jangan! Jangan begitu Nirina. Eh, kembali, jangan pergi. Nirina…!

”Aku tidak bermaksud begitu. Bukan maksudku menjadi perempuan yang selalu mengecewakan.”

Aku menarik napas panjang, bingung harus menjawab apa.

”Kamu egois, Nirina. Suami impian tidak akan datang jika kamu terus begini.”

Jawabanku yang tegas itu serta-merta membuat Nirina terkesiap,”Benarkah?”

Aku mengangguk.

”Maafkan aku, bukan maksudku begitu.”

Aku tiba-tiba saja ingin tertawa keras.

”Jangan keras-keras. Telingaku tidak tuli.”

Aku tetap saja tertawa. ”Nirina… Nirina,” sebutku kemudian, masih dengan gelak yang tersisa,”kamu tidak harus meminta maaf padaku. Memangnya, apa peduliku?”

Nirina terlihat tak mengerti.

”Dengar,” lanjutku lagi,”Tak peduli apakah seorang Nirina menikah atau menjadi perawan tua, tidak banyak bedanya bagiku. Toh kita tetap sama-sama, kan? Tidak ada yang bisa mengubah itu.”

Mata sipit memanjang milik Nirina tampak bingung.

”Kamu egois, Nirina. Dengar, selama ini kamu hanya mempedulikan perasaanmu, kemauanmu, dan lupa memandang sekitar. Sekali-kali keluar dari dirimu, Nirina. Pandang sekelilingmu dengan mataku. Lihat, betapa kecewanya wajah Papa dan Mama, setiap kali kamu menarik diri dari proses mengenal lebih dekat calonmu. Bisa kamu lihat sekarang?”

”Kamu bohong!” Mata Nirina mendadak berair.

”Itu yang sejujurnya, kamu tahu itu.”

Gadis itu menggeleng lagi. ”Tidak, tidak. Kamu bohong. Papa dan Mama baik-baik saja, mereka dua orang tua yang luar biasa. Tidak memaksakan kehendak kepada anak-anak mereka. Tidak seperti banyak orang tua lain yang kutahu.”

Ketika Nirina meninggikan intonasinya, dan mulai dengan serampangan membela diri, aku memilih bungkam. Tidur mungkin jalan keluar yang baik. Tapi sebelum pergi, aku meninggalkan kalimat ini padanya.

”Tidakkah setiap orang tua ingin menjadi kakek dan nenek, Nirina? Kebahagiaan apa lagi yang bisa kita berikan pada mereka, setelah kelucuan sebagai kanak-kanak menghilang?”

Nirina diam.

Tapi aku tahu, sebetulnya dia menyimpan kalimatku baik-baik dalam ruang penting di hatinya.

Buktinya, seminggu kemudian gadis itu kembali membuka diri. Padahal laki-laki yang datang kali ini sama sekali tidak dikenal gadis itu. Mariska, kakak satu-satunya Nirina yang mengenalkan.

Tingginya cukup, berat badan sedang. Alis hitam dan tebal, nyaris bertaut di dahi. Bibirnya sedikit kecokelatan, namun tidak terlihat hitam oleh rokok. Sungguh memberi kesan awal yang baik buatku, kuharap begitu juga buat Nirina.

”Ssst, siapa tadi namanya?”tanyaku, sekonyong-konyong.

Nirina sedikit tersipu, namun dijawabnya pertanyaanku dengan suara serupa bisikan,”Kamu tidak menyimak rupanya?”

Aku tertawa.”Tidak, sebab kamu sendiri tidak ingat namanya, kan?”

Nirina kembali tersipu. Tapi aku senang melihat semburat merah muda di wajahnya yang kuning.

”Bagus.”

Laki-laki itu menyebutkan namanya, membuat pias merah jambu itu kembali memuai di wajah Nirina. Seperti kanak-kanak yang tertangkap basah mencuri permen.

Aku tersenyum kecil melihatnya.

”Bagus ini teman Kak Riska waktu di SMA, Nirina.”

Kami berpandangan, lalu berbarengan ber’O’.

Setelah itu kata-kata mengalir, silih berganti. Selama pertemuan itu pula, aku mencatat perubahan cukup besar pada Nirina. Gadis itu terlihat lebih membuka diri, dan berusaha keras terlibat dalam percakapan secara aktif.

Dia, misalnya, mau bertanya di mana tempat tinggal pemuda bernama Bagus itu, lalu apa hobinya. Dan ketika Bagus menyebutkan membaca sebagai hobi utama, mata memanjang milik Nirina berkerlap.

Nirina bahkan berani menanyakan pekerjaan Bagus, juga keluarganya. Pemuda itu menjawab semua pertanyaan Nirina dengan simpatik. Aku suka melihat cara berbicaranya yang begitu teratur, tidak terburu-buru, santun tanpa perlu menjadi kaku.

“Ssst, kamu bertanya atau interogasi?” godaku saat Bagus berpamitan.

Awalnya Nirina tertawa saja. Tapi sewaktu jam demi jam berlalu, gadis itu berangsur tak tenang.

“Tidak perlu cemas begitu, Nirina.”

Gadis kesayanganku itu seperti tak mendengar, terus mondar-mandir di kamarnya yang berukuran 3 x 4. Lalu tak berapa lama, setelah Mariska pulang, kecemasan Nirina berubah menjadi kepanikan.

”Hey… hey… tenang saja, Nirina.”

Nirina menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kamu betul, aku terlalu agresif tadi. Harusnya tidak begitu. Ya Allah… lihat kan wajahnya begitu lega ketika pertemuan berakhir? Seharusnya aku lebih menahan diri, dan tidak bersikap seperti seorang polisi yang melakukan investigasi.”

Belum pernah kulihat Nirina segundah itu. Berkali-kali tangan rampingnya ditepukkan ke kening.

“Duh, bodohnya aku!”

“Tenang,”

“Tapi tadi kamu sendiri yang bilang begitu, kan?”

Aku garuk-garuk kepala, benar sih. Tapi tadi kan aku hanya menggodanya saja.

”Sekarang dia akan melihatku tak ubahnya aggressor, seperti Israel terhadap Palestina.”

”Kamu berlebihan, ah.”

”Ok, seperti striker di lapangan terhadap kipper?”

”Ini bukan pertandingan bola, Nirina. Tenanglah.”

”Sekarang dia akan berubah pikiran,”suaranya mengandung penyesalan.

Aku terenyuh mendengarnya. Suara gadis itu barusan terdengar tulus, pekat dengan kekhawatiran. Seolah berkata, dia telah menemukan suami impian.

Padahal ini baru pertemuan pertama.

Alhamdulillah.

”Tapi, bagaimana jika Bagus tidak kembali?”

”Gampang saja,” sahutku mencoba menenangkannya.

”Maksudmu?”

”Ya, setelah semua kecerewetanmu tadi, siapa yang sudi kembali?”

Nirina shocked, tapi aku tertawa.

“Hey… hey. Aku cuma bercanda, kok.”

Bibir gadis itu menyungging senyum. Hanya sekilas sebelum mendung kembali menggayuti, dan membuat paras Vic Zhounya murung.

Syukurlah kekhawatiran gadis itu tak terbukti. Beberapa hari kemudian, pemuda bermata hitam yang memiliki alis tebal itu datang lagi. Mariska kembali menemani percakapan dua anak muda itu, bahkan Papa dan Mama belakangan ikut meningkahi obrolan ketiganya.

Raut wajah Nirina cerah, aku senang merasakan hatinya yang melonjak-lonjak. Tampaknya pemuda ini memiliki kecocokan dengan Nirina, dan bisa memenangkan kunci hati gadis itu.

Pada pertemuan kelima, Bagus membawa kedua orang tuanya, dan mengajukan niatan. Mariska memang tak salah pilih makhluk untuk menikahi adiknya. Bagus tak seperti kebanyakan pemuda yang cuma mau pacaran, sebaliknya cowok itu dengan terus-terang mengemukakan keinginannya untuk memperistri Nirina.

Tibalah saatnya semua mata tertuju pada Nirina, yang sejak tadi menundukkan wajah mungilnya, yang hari itu dibalut kerudung ungu muda.

Diam-diam aku juga seperti mereka, menunggu. Berdoa, agar Nirina tak lagi ragu. Kemudian pelan-pelan kami melihat Nirina mengangkat wajahnya. Sebutir embun menggenang di kedua mata sipitnya. Dan seperti sulit dipercaya, Nirina kemudian menganggukkan kepala.

Yes! Yess! Yesss!

Aku bersorak paling kencang, meski sepertinya tak ada yang mendengar, kecuali Nirina sendiri.

Rapat kilat dilakukan, tanggal pun ditentukan. Hanya dalam waktu dua pekan sebuah pernikahan siap digelar. Aku betul-betul salut melihat kegigihan dan ketenangan pemuda bernama Bagus itu. Ketenangan yang perlahan mengalir pada diri Nirina, dan memberinya kemantapan hati.

Nirina… Nirina… akhirnya! desisku di antara peluk cium, Kakak, Papa, dan Mama. Kegembiraan serupa memancar dari wajah kedua orang tua Bagus, juga pemuda itu sendiri.

Begitulah, hari demi hari setelahnya, aku mencatat keriangan Nirina. Antusiasmenya dalam memilih undangan, mengurus sendiri ke percetakan, terkadang ditemani Bagus dan adiknya. Lalu mencari masjid tempat akad nikah dilakukan. Juga menyewa tempat resepsi besar, sesuai keinginan kedua orang tua Nirina. Aku sendiri tak heran, maklumlah mereka dua keluarga besar. Tentu banyak yang akan protes jika tak diundang.

Hingga hari H tiba.

Sejak malam sebetulnya aku menangkap sesuatu yang lain. Bukan kecemasan seperti yang sudah-sudah, meski udaranya nyaris serupa. Nirina, seperti menunggu sesuatu.

Salat malam dilakukan gadis itu, dengan sujud-sujud panjang. Lalu tangannya menengadah. Usai tahajud, gadis itu membuka jendela, dan matanya menerobos dalam kegelapan, seolah mencari-cari sesuatu. Bahkan hingga Subuh berkumandang, detak jantungnya kembali berbunyi keresahan, agak berbeda, tapi nyaris seperti yang lalu-lalu.

Mulanya aku tak mau bicara. Kubiarkan saja dia merenungi masa-masa terakhir sebagai seorang gadis. Lusa dia akan terbangun dengan seorang pendamping di sisinya, dalam dunia yang sama sekali berbeda. Bahkan sejak mereka masuk ke peraduan.

Harusnya, Nirina bahagia. Kenyataannya?

Lepas salat Subuh, ketika Mama menggedor kamar Nirina, menyuruhnya mandi, Nirina melakukannya setengah hati saja. Begitu pun ketika Mariska mengingatkannya agar segera keluar kamar, untuk dirias sebagaimana pengantin umumnya, Nirina menunjukkan sikap enggan.

Aku tak tahan lagi berdiam.

”Nirina, kenapa lagi?”

Wajah orientalnya tampak cantik dalam lipstik warna merah jambu. Tapi gadis itu masih saja tepekur di pinggiran ranjang pengantin yang sudah dihias dan menyebarkan wangi melati.

”Kamu harus ganti baju, Nirina.”

Kepalanya tertunduk,”Ya, aku tahu.”

”Lalu? Jangan katakan kamu ragu lagi.”

Nirina tak menjawab, kedua kakinya digoyang-goyangkan hingga ranjang sedikit terayun. Sikap yang kontan membuatku merasa cemas.

”Kamu tidak ragu lagi, kan? Tidak berubah pikiran, kan?”

Nirina menggelengkan kepalanya.

”Lalu apa? Ada apa?”

Nirina mengembuskan napas berat. ”Entahlah… aku rasa… aku….”

Kalimatnya terhenti, gadis itu menarik napas lagi.

”Kenapa denganmu?”

Nirina melompat dari tempat tidur. Barusan suara Mama menyuruhnya berpakaian, terdengar lagi.

Tangan Nirina menarik resleting kebaya putihnya. Lalu masih tetap dengan wajah murung, memakainya.

”Please, jangan sekarang, Nirina. Jangan ragu ketika kamu sudah sedekat ini,” pintaku, setengah memohon.

”Aku tahu,”

”Lalu?”

”Aku tidak ragu, hanya saja…,” suaranya kembali terputus teriakan Mama. Nirina menjawab panggilan orang tuanya tanpa membuka kamar. ”Sebentar, Ma….”

”See? Semua orang gugup hari ini, Nirina, apalagi kamu. Itu wajar!”

Nirina tak menjawab. Gadis itu kini telah selesai berpakaian. Dipandangnya sosok kecil mungil dalam balutan kebaya berwarna putih gading, dan kain batik di depan cermin. Selembar kain schiffon sebagai pelengkap jilbab dikenakannya tanpa ekspresi.

Ahh, aku tak suka melihat wajah cantiknya yang masih saja murung.

”Kalau bukan ragu, apa lagi?” kejarku setelah beberapa saat kami hanya berdiam.

”Aku menunggu pertanda.”

”Apa?” teriakku kaget,”Pertanda?”

”Ya!” jawabnya tegas,”Pertanda dari Allah, bahwa Bagus memang suami impian, laki-laki yang dipilihkan-Nya untukku! Apa itu salah?”

Fhew. Nirina sungguh menguras kesabaranku.

“Dan kamu belum mendapatkannya? Selama obrolan lima kali dengan calonmu itu, tidakkah kamu bisa menangkap pertanda?”

Nirina menggeleng.

Ya Allah. Aku makin kesal dibuatnya.

“Maksudku bukan itu, tapi pertanda. Sesuatu yang bisa membuatku lebih mantap, sebab tahu memang dialah pilihan dari-Nya.”

“Pertanda, ya? Pertanda?!”

“Ya… sudah sejak semalam aku memikirkannya.”

“Kenapa tidak mencari pertanda ketika tanggal belum lagi ditetapkan?”

“Tidak bisa.” Kepalanya menggeleng lagi, ”Sebab kali ini aku tak punya alasan. Tidak matanya, tidak cara berjalannya, tidak sikapnya, tidak dahinya yang selalu berkerut, tidak ada!”

Bagus nyaris sempurna di mata Nirina. Sosok suami yang diimpikannya. Aku tahu pasti itu.

”Kalau begitu, ini cuma alasan yang dicari-cari!” teriakku dengan suara tertahan.

Sementara matahari terus bergulir. Di luar kamar sudah terdengar suara riuh sanak saudara yang datang untuk mengantar Nirina ke tempat akad nikah, sekaligus resepsi. Pintu sudah berkali-kali diketuk, tapi Nirina belum keluar juga. Dan alasannya cuma satu: gadis itu belum menemukan pertanda!

Ini gila!

”Jangan menyebutku begitu. Sudah kubilang ini cuma masalah waktu. Pertanda itu pasti datang.”

”Seperti apa?”

Nirina mengangkat bahunya. ”Entahlah, tapi mungkin aku akan mendengar orang-orang menyebut kata ’bagus’ berkali-kali, atau awan tiba-tiba membentuk inisial nama kami berdua, atau….”

”Atau kamu tiba-tiba melewati mobil pengantin lain, atau melewati toko kue di mana terlihat kue pengantin tiga tingkat disana, atau sekawanan burung-burung terbang di langit membentuk wajah calon suamimu itu… atau…,” ujarku asal.

Nirina mengangguk. ”Ya, seperti itulah. Apa pun yang bisa dijadikan pertanda.”

Aku benar-benar hilang akal, Nirina kenapa tidak mendengar kata-kataku, sekali ini saja!

”Cobalah mengerti, terlalu banyak yang harus aku pertaruhkan,” ujarnya mencoba meyakinkanku, ”Bagaimana kalau Bagus tak sebaik yang kita duga? Bagaimana jika dia sudah punya istri dimana-mana, bagaimana jika dia nanti ternyata suka memukuli istri? Atau ternyata pernah terlibat mafia di luar negeri, atau merampok bank?” Suara Nirina meninggi, di sela ketukan pintu yang kembali terdengar.

”Kamu kebanyakan nonton infotainment!” sergahku cepat.

Ketukan di pintu berulang lagi. Ritmenya kian cepat. Orang-orang pasti mulai tidak sabar.

”Nirina….”

Itu suara Mama.

Nirina diam, aku tahu dia menungguku mengucapkan sesuatu.

“Kalau begitu, cari kelebihannya Nirina. Pusatkan pikiranmu pada kebaikan-kebaikannya, itulah pertanda! Itulah alasan kenapa kamu harus menikah dengan Bagus.”

Nirina diam, aku tahu dia sedang berpikir keras.

Tetapi tak ada waktu, suara ketukan di pintu kini telah berupa gedoran.

Nirina harus segera mengambil keputusan. Sebentar lagi pintu mungkin didobrak dari luar. Mereka bisa saja mengira gadis itu telah pingsan di kamarnya karena nervous.

Di tepi ranjang, Nirina masih berpikir. Mengetahui itu aku menjadi lebih semangat mengembuskan pikiran demi pikiran.

Sikapnya yang sopan, Nirina.

Matanya yang tak liar ketika menatapmu.

Perhatikan bagaimana dia selalu menunggu lawan bicaranya selesai, sebelum menanggapi.

Pikirannya yang cerdas telah menghemat banyak biaya pernikahan.

Keinginan untuk memperistrimu secepatnya.

Ingat senyumnya yang hangat. Matanya yang teduh.

Kesabarannya menjawab pertanyaan-pertanyaanmu. Juga keraguan yang beberapa kali melintas.

Lalu salatnya yang selalu tepat waktu.

Air mata Nirina menetes.

Aku mengangguk, ”Itu lebih dari pertanda, Nirina. Allah mengirimkanmu seorang lelaki yang baik.”

Nirina mengikuti anggukanku.

”Well, mungkin tidak seganteng Keanu Reeves, perawakannya pun tidak setegap Ade Ray, apalagi suaranya jika dibandingkan Clay Aiken yang merdu, belum lagi….”

Nirina mengapus air matanya. ”Sudah, sudah. Jangan membuatku kembali ragu,” potongnya cepat.

Aku setuju.

Di dalam mobil yang mengantarnya ke tempat akad nikah, aku mendengar Nirina bersenandung kecil.

”Nirina….”

”Apa?”

”Tidak jelek kan menuruti kata hati?”

Gadis berwajah oriental itu mengangguk. Lalu tersenyum lebih lebar. Menenangkan Papa dan Mama, yang sejak tadi tampak kebingungan menyaksikan percakapan Nirina denganku sepanjang perjalanan. Barangkali alasannya karena aku cuma sosok tanpa wujud. Ah, seharusnya sejak tadi aku memperkenalkan diri pada mereka.

”Ehem… namaku nurani, atau….”

Aku masih berusaha memikirkan beberapa nama lain, ketika sebuah suara yang akrab denganku sejak kelahirannya, menyergah. ”Ssst… jangan berisik!”

Mengingatkanku akan prosesi yang sebentar lagi dimulai.


*Diambil dari buku kumpulan cerpen dengan judul yang sama “Suami Impian” yang diterbitkan oleh PT. Lingkar Pena Kreativa, Cetakan kedua, April 2006. Dapatkan bukunya dan simak cerita-cerita keren dari Asma Nadia, Birulaut, Ifa Avianty, Sakti Wibowo, dll.